28 Agustus Berdarah, Demokrasi Dihantam Water Canon dan Peluru Gas

12

SULTENG, Corongpublik// Aksi unjuk rasa yang berlangsung damai di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Kamis (28/8), berakhir dengan kericuhan dan jatuhnya korban jiwa. Demonstrasi yang diinisiasi serikat buruh dalam gerakan Hostum (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah) itu berubah panas saat gelombang mahasiswa ikut turun ke jalan menyuarakan tuntutan serupa.

Kericuhan dipicu bentrokan antara massa aksi dan aparat kepolisian yang berujung pada penggunaan gas air mata, water canon, dan tindakan represif terhadap demonstran. Tak hanya di Jakarta, gelombang protes serentak juga terjadi di berbagai kota besar, seperti Bandung, Surabaya, Makassar, Aceh, Medan, Lampung, Riau, Kepulauan Riau, hingga Morowali.

Di tengah kekacauan, kritikan keras dialamatkan kepada aparat kepolisian yang dinilai bertindak brutal dan melampaui batas. Sejumlah organisasi mahasiswa dan masyarakat sipil menyatakan bahwa kekerasan yang terjadi bukan sekadar pelanggaran prosedur, melainkan ancaman serius terhadap demokrasi.

Salah satu suara keras datang dari Wilda Cahyani, kader Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kolaka, Sulawesi Tenggara. Ia menyebut 28 Agustus seharusnya menjadi panggung demokrasi, bukan ladang kekerasan.

“Demostran turun ke jalan bukan untuk merusak, tapi untuk menyampaikan keresahan rakyat. Namun yang terjadi bukan dialog, melainkan gas air mata dan intimidasi,” ujar Wilda.

Wilda menyoroti bahwa kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat dijamin oleh konstitusi, termasuk Pasal 28E UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998, dan berbagai regulasi HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Namun, hak-hak itu seolah tak berlaku di jalanan ketika aparat justru menjadi pelaku kekerasan.

“Polisi seharusnya pelindung rakyat, bukan algojo. Mereka digaji dari uang rakyat, berseragam atas nama negara, dan bersumpah melayani. Tapi yang tampak justru wajah kekerasan,” lanjutnya.

Lebih jauh, Wilda mempertanyakan loyalitas aparat penegak hukum yang menurutnya lebih tunduk pada kekuasaan daripada kepada rakyat.

“Untuk siapa polisi bekerja? Untuk rakyat yang berharap perlindungan, atau untuk kekuasaan yang takut kehilangan tahta? Jika aparat hanya jadi benteng penguasa, maka hukum mati dan keadilan terkubur,” tegasnya.

Pernyataannya menggarisbawahi kekhawatiran masyarakat sipil atas kondisi demokrasi yang kian menurun, di tengah maraknya tindakan represif terhadap suara-suara kritis. Ia pun mengingatkan bahwa sejarah telah membuktikan tak ada rezim yang langgeng dengan membungkam rakyat.

“Hentikan kekerasan. Hentikan impunitas. Karena ketika polisi menjadi musuh rakyat, kepercayaan runtuh. Dan bangsa ini akan meluncur ke jurang otoritarianisme,”pungkas Wilda.

Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan keterangan resmi terkait jatuhnya korban dan tuduhan penggunaan kekuatan berlebihan dalam penanganan aksi unjuk rasa.(Tim/Red)