90 Ribu Ton Nikel Aset Negara Raib, KPK Didesak Usut Jejak Hasyim Daeng Barang dan PT WKM

77

JAKARTA, Corongpublik// Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak segera menyelidiki dugaan penjualan 90 ribu metrik ton ore nikel yang merupakan aset negara. Nikel tersebut sebelumnya milik PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT) sebelum izin usaha pertambangannya (IUP) dicabut dan dialihkan kepada PT Wahana Karya Mineral (WKM). Berdasarkan putusan Mahkamah Agung, ore nikel itu telah disita pengadilan dan diserahkan kepada pemerintah daerah, sehingga statusnya jelas sebagai aset milik negara.

Koordinator Pusat Sentral Koalisi Anti Korupsi Maluku Utara Jakarta (SKAK+MALUT-JKT), M. Reza, menegaskan bahwa siapa pun yang diduga terlibat dalam penjualan aset negara tersebut harus segera ditangkap. Ia juga mempertanyakan langkah Polda Maluku Utara yang sempat melakukan penyelidikan, namun tidak memeriksa Hasyim Daeng Barang, mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Maluku Utara, untuk dimintai keterangan.

Menurut Reza, penjualan aset negara tanpa prosedur hukum yang sah merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Ia menilai, praktik ini tidak mungkin terjadi tanpa sepengetahuan pejabat teknis di Dinas ESDM maupun pihak PT WKM yang menerima pengalihan IUP.

Karena itu, KPK diminta segera memanggil dan memeriksa Hasyim Daeng Barang, yang menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kadis ESDM Maluku Utara pada 2019, diangkat menjadi Kadis ESDM pada 2021, dan kini menduduki jabatan penting sebagai Direktur Hilirisasi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selain itu, Direktur Utama PT WKM juga perlu diperiksa karena aktivitas penjualan ore nikel berstatus aset negara jelas menimbulkan kerugian besar bagi negara.

Tak hanya soal penjualan aset, PT WKM juga diduga mengabaikan kewajiban pembayaran dana jaminan reklamasi tambang. Berdasarkan dokumen resmi Pemerintah Provinsi Maluku Utara Nomor 340/5c./2018, perusahaan tersebut diwajibkan menyetor dana jaminan reklamasi sebesar Rp13,45 miliar untuk periode operasi produksi 2018-2022. Namun, hingga kini hanya Rp124 juta yang disetorkan pada tahun 2018, sementara sisanya tidak jelas keberadaannya.

M. Reza menilai, praktik seperti ini menunjukkan adanya pembiaran sistemik terhadap pelanggaran hukum di sektor pertambangan. Ia menduga, lemahnya pengawasan dari aparat penegak hukum telah membuka ruang bagi perusahaan-perusahaan nakal untuk memperkaya diri di atas kerugian negara.

Menurutnya, KPK harus turun langsung ke lapangan untuk memastikan tidak ada lagi penyalahgunaan aset negara yang dikemas dalam bentuk penjualan ore nikel atau manipulasi kewajiban reklamasi. Jika dibiarkan, praktik ini berpotensi memperkuat pola korupsi struktural yang mengakar di sektor tambang Maluku Utara.

“Kita tidak boleh diam. Sebagai putra daerah Maluku Utara, saya menyerukan agar skandal penjualan ore nikel ini menjadi atensi prioritas bagi KPK yang dipimpin Setyo Budiyanto. Jangan biarkan pelaku korupsi aset negara terus berlindung di balik jabatan dan perusahaan tambang,”tegas Reza.(Tim/Red)