TERNATE, Corongpublik.com-Koalisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Maluku Utara mendesak aparat penegak hukum segera menangkap mantan Bupati Pulau Taliabu, Aliong Mus. Ia diduga menjadi aktor kunci dalam skema korupsi sistematis yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 56,8 miliar.
Desakan itu disampaikan dalam aksi unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, Rabu, 11 Juni 2025. Koordinator Lapangan KPK Malut, Alimun Nasrun, menyebut korupsi yang terjadi di lingkungan Pemda Pulau Taliabu bukan sekadar penyimpangan administratif. “Ini kejahatan berjaringan yang melibatkan banyak aktor, dan menghancurkan integritas sistem keuangan daerah,” ujar Alimun.
Korupsi bermula sejak 2015 dengan terjadinya pendebetan ganda pada rekening kas daerah, yang menimbulkan kerugian awal Rp 1,36 miliar. Skema ini terus berulang, bahkan makin kompleks usai penandatanganan nota kesepahaman antara Pemda Taliabu dan BRI Kanwil Manado pada 2016. Alih-alih memperkuat tata kelola keuangan, kerja sama ini justru membuka celah transaksi ilegal: penarikan tanpa SP2D, transaksi fiktif, hingga pencairan tunai bermodal kwitansi dan persetujuan lisan.
Puncak korupsi terjadi pada 2019. Enam transaksi tunai senilai Rp 7,4 miliar terjadi tanpa dasar hukum. Sebanyak 19 pembayaran pajak dengan total Rp 21,9 miliar dilakukan tanpa ID Billing dan NTPN. Bahkan, dana Rp 10 miliar mengalir ke dua perusahaan dan satu rekening pribadi tanpa bukti pertanggungjawaban. Nama Aliong Mus disebut sebagai pemberi otorisasi sejumlah transaksi tersebut bersama Sekda, Kepala BPPKAD, dan Bendahara Umum Daerah.
Seorang kontraktor berinisial RA yang disebut-sebut dekat dengan Aliong, bahkan mencairkan dana Rp 6,3 miliar pada 2016 tanpa dokumen resmi. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI tahun 2022 dan 2023 menyatakan kerugian negara belum dipulihkan. Kerja sama Pemda dan BRI juga dinilai melanggar sejumlah aturan, termasuk Pasal 18 Ayat (4) PP No. 39 Tahun 2007 dan Pasal 32 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Selama periode 2015 hingga 2019, pola korupsi berlangsung nyaris tanpa jeda. Tahun 2016 mencatat kerugian Rp 8,97 miliar akibat penarikan tanpa SP2D dan transaksi fiktif. Tahun berikutnya, praktik serupa menyebabkan kerugian Rp 3,17 miliar. Pada 2018, kesalahan validasi transaksi oleh pihak bank dan OPD memunculkan kerugian Rp 4,07 miliar. Dan pada 2019, korupsi mencapai titik kulminasi dengan kerugian Rp 39,3 miliar.
“Nilai kerugiannya sangat besar dan polanya berulang. Ini bukan kasus biasa, tapi kejahatan yang terorganisir. Kami minta Kejati dan Polda segera tangkap Aliong Mus,” kata Alimun.

Tak hanya di Taliabu, dugaan praktik serupa juga muncul di Pulau Morotai. Dalam orasinya, aktivis Yuslan Marhaen menyoroti pengelolaan anggaran DPKAD Morotai pada 2023 dan 2024, yang diduga bermasalah. Total anggaran yang diselewengkan diperkirakan mencapai Rp 19,8 miliar. Mantan Kepala DPKAD, Suryani Antarani, disebut bertanggung jawab atas aliran dana tersebut.
Salah satu pos yang mencolok adalah belanja makan dan minum. Anggaran konsumsi yang semula Rp 2,8 miliar pada 2023 melonjak menjadi Rp 3,5 miliar di 2024, dengan total Rp 6,3 miliar hanya dalam dua tahun.
“Kami melihat adanya pemborosan anggaran yang tak bisa dijustifikasi. Ini penghinaan terhadap prinsip pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan transparan,” kata Yuslan. “Sementara anggaran konsumsi melonjak, rakyat Maluku Utara masih berjuang mengakses layanan dasar dan hidup dalam kemiskinan.”