TERNATE, Corongpublik// Pemerintah Provinsi Maluku Utara kini berada di ujung tanduk keuangan. Defisit APBD mencapai Rp 679 miliar, sementara tunda bayar kegiatan dan dana bagi hasil (DBH) ke kabupaten/kota menembus Rp 800 miliar lebih. Tak hanya itu, Pemerintah Pusat juga memangkas Transfer ke Daerah (TKD) senilai Rp 806 miliar. Situasi ini membuat Gubernur Sherly Tjoanda Laos kelimpungan mencari jalan keluar dari krisis fiskal terbesar sepanjang sejarah provinsi ini.
Ironisnya, di tengah keuangan yang terpuruk, Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) justru membengkak. Padahal, belanja pegawai Pemprov Malut sudah menggerus 40 persen dari total APBD, jauh di atas batas ideal 30 persen.
Wakil Gubernur Sarbin Sehe menegaskan, TPP akan menjadi komponen pertama yang dikaji untuk dipangkas jika pemerintah pusat benar-benar memangkas alokasi TKD hingga 25 persen.
“Pasti ada pemangkasan, tetapi kebijakan ini perlu dibicarakan bersama seluruh ASN karena kondisi fiskal kita memang tidak memungkinkan” ujarnya, Selasa kemarin.
Sarbin mengakui, besaran TPP ASN di lingkup Pemprov Malut saat ini tidak sebanding dengan kemampuan fiskal daerah.
“Mungkin bukan hanya TPP, tetapi beberapa proyek juga akan kita pangkas atau bahkan dibatalkan,” tambahnya.
Defisit besar yang kini membelit Pemprov Malut disebut sebagai warisan dari tata kelola anggaran yang buruk selama bertahun-tahun. Pemerintah sebelumnya dinilai menyusun belanja tidak realistis, jauh melampaui pendapatan riil. Dana Bagi Hasil (DBH) yang seharusnya disalurkan ke kabupaten/kota justru digunakan untuk membiayai belanja daerah.
Kondisi itu menumpuk utang hingga Rp 800 miliar kepada pihak ketiga dan pemerintah kabupaten/kota. Akibatnya, kini Sherly harus menanggung beban membayar utang sekaligus menutup defisit yang kian melebar.
Untuk menormalkan fiskal, Gubernur Sherly berencana mengehentikan sejumlah program dan kegiatan daerah pada 2026, agar pendapatan yang tersisa bisa difokuskan untuk melunasi utang.
Berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Maluku Utara Nomor 2 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Plt Gubernur M. Al Yasin Ali, besaran TPP ASN di Pemprov Malut justru mengalami lonjakan signifikan.
Sekretaris Daerah kini menerima TPP sebesar Rp 22,4 juta per bulan, naik dari sebelumnya Rp 15 juta. Kepala dinas (Eselon II-a) menerima Rp 17,3 juta dari sebelumnya Rp 11,9 juta, sedangkan kepala biro (Eselon II-b) melonjak ke Rp 13,1 juta dari Rp 9 juta.
Untuk eselon III (kelas jabatan 12), seperti sekretaris dinas, TPP naik menjadi Rp 9,2 juta dari Rp 6,5 juta. Jabatan kepala bidang (kelas jabatan 11) kini menerima Rp 9,1 juta, naik dari Rp 5 juta, sementara pejabat fungsional kelas jabatan 10 mendapat Rp 6,3 juta dari Rp 4,3 juta.
Bahkan untuk jabatan rendah seperti kepala subbagian (kelas jabatan 9) kini menerima Rp 5,3 juta, dan analis perencanaan (kelas jabatan 7) mendapat Rp 3,9 juta. Sedangkan pegawai terendah, seperti pramu kebersihan, kini memperoleh Rp 911 ribu angka yang sebelumnya nihil.
Kenaikan TPP di level pejabat eselon I dan II rata-rata mencapai Rp 6 juta lebih, sementara untuk eselon III naik Rp 2-4 juta tergantung kelas jabatan.
Padahal, komponen gaji ASN terdiri dari gaji pokok dan berbagai tunjangan. Gaji pokok ASN dan PPPK memang ditanggung oleh APBN melalui Dana Alokasi Umum (DAU), tetapi TPP menjadi beban APBD masing-masing daerah.
Dengan struktur fiskal yang rapuh dan utang menumpuk, pembengkakan TPP justru berpotensi memperdalam krisis. Banyak pihak menilai, langkah berani memangkas TPP dan efisiensi belanja daerah harus segera diambil agar Pemprov Malut tak jatuh dalam jurang kolaps fiskal.
—Tim/Red—




