JAKARTA, Corongpublik// Praktik penggunaan anggaran publik di Provinsi Maluku Utara kembali menuai tanda tanya besar. Di tengah meningkatnya tuntutan transparansi keuangan daerah, alokasi dana untuk kegiatan publikasi dan komunikasi pemerintah tercium beraroma pencitraan politik.
Berdasarkan data resmi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) LKPP per 9 September 2025, Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian (Diskominfo) Maluku Utara tercatat mengalokasikan Rp500 juta untuk satu paket diseminasi informasi publik melalui program televisi nasional. Selain itu, terdapat Rp200 juta untuk relasi media dan Rp100 juta untuk sewa videotron.
Meski kegiatan ini tercantum sah dalam nomenklatur “Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Publik Pemerintah Daerah” sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 90 Tahun 2019, namun substansinya patut dipertanyakan, apakah program tersebut benar-benar demi kepentingan publik atau sekadar menjadi alat pencitraan kekuasaan?
Dalam perspektif political budgeting, anggaran publik sering dimanfaatkan bukan hanya untuk pelayanan masyarakat, tetapi juga untuk memelihara legitimasi politik penguasa. Jika konten tayangan lebih menonjolkan figur kepala daerah ketimbang substansi kebijakan, maka penggunaan dana publik itu telah menabrak etika dan mengaburkan fungsi APBD sebagai instrumen kesejahteraan.
“APBD bukan alat propaganda, tetapi instrumen keadilan fiskal dan pelayanan publik,” kritik M. Reza A. Syadik, Ketua PB-FORMMALUT, yang juga menyoroti lemahnya pengawasan DPRD Maluku Utara terhadap praktik belanja semacam ini.
DPRD, tegasnya, semestinya menjadi benteng pertama dalam mencegah penyalahgunaan anggaran, bukan sekadar penonton kebijakan.
Reza juga mendesak Inspektorat Daerah untuk melakukan audit tematik terhadap seluruh kegiatan publikasi Pemprov Maluku Utara. Jika ditemukan indikasi penyimpangan, hasilnya wajib dilimpahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak berhenti pada teguran administratif semata.
Menurutnya, fenomena diseminasi berbiaya tinggi ini menandakan krisis akuntabilitas fiskal di tubuh pemerintah daerah. Padahal, Pasal 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 telah menegaskan bahwa setiap rupiah anggaran harus dikelola dengan prinsip efisiensi, efektivitas, dan transparansi. Sementara Pasal 298 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa belanja daerah hanya boleh digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan personal pejabat.
“Rakyat berhak tahu ke mana uang mereka digunakan. Tidak ada yang lebih berbahaya dari pejabat yang mengelola uang publik untuk memelihara citra pribadi,” tegas Reza.
Lebih jauh, PB-FORMMALUT menilai, reformasi komunikasi publik daerah harus diarahkan pada model partisipatif dan edukatif, bukan pencitraan sepihak. Publikasi yang sehat, katanya, seharusnya mendorong literasi warga, bukan glorifikasi pemerintah.
Fenomena ini semakin ironis ketika data ekonomi menunjukkan pertumbuhan Maluku Utara yang diklaim melesat tinggi, padahal dibangun di atas kerusakan alam di pulau-pulau kecil.
“Di balik statistik gemilang itu, ada luka yang menganga,”tulis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam unggahan media sosialnya.
Kenyataan ini mempertegas bahwa anggaran publik di Maluku Utara tengah kehilangan nilai moralnya. APBD semestinya menjadi cermin keadilan sosial bukan kaca panggung pencitraan kekuasaan.(Tim/Red)




