Dari Representasi Menuju Emansipasi: Menafsir Ulang Politik Perempuan dalam Ruang Kekuasaan

146
MARIYATUL HUMAIRA
Mariyatul Humairah (Bendahara Bidang Pariwisata Kopri PB PMII) Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Komunikasi Jayabaya Jakarta

Oleh : Mariyatul Humaira (Bendahara Bidang Pariwisata Kopri PB PMII)

Kebijakan afirmatif berupa kuota 30 persen perempuan di parlemen kerap dirayakan sebagai tonggak kesetaraan gender. Namun, euforia itu tampaknya terlalu dini. Sebab di banyak ruang kekuasaan, perempuan memang hadir secara simbolik tetapi belum memiliki pengaruh substantif dalam pengambilan keputusan. Mereka ada, namun belum tentu berdaya.

Tantangan utama perempuan dalam politik bukan sekadar hadir di dalam sistem, melainkan bagaimana mereka dapat bersuara secara otentik, menyuarakan kepentingan konstituen, dan membangun narasi politik yang kuat. Sayangnya, ruang politik kita masih didominasi oleh gaya komunikasi maskulin: konfrontatif, instruktif, bahkan agresif. Gaya seperti ini telah lama dianggap sebagai standar kepemimpinan.

Sebaliknya, komunikasi perempuan kerap menonjolkan empati, narasi, dan kedekatan emosional. Sayangnya, pendekatan ini sering dipandang lemah atau kurang tegas. Padahal, pendekatan ini justru menawarkan kejujuran, relevansi, dan ruang dialog yang lebih manusiawi. Akan tetapi pendekatan semacam ini jarang mendapat ruang yang adil. Media dan publik masih sering melihat perempuan melalui lensa patriarkis. Penampilan fisik, nada suara, hingga kehidupan pribadi lebih sering menjadi sorotan ketimbang ide, kompetensi, dan kapasitasnya.

Puan Maharani adalah contoh nyata dari paradoks ini. Sebagai Ketua DPR RI perempuan pertama yang menduduki jabatan tersebut Puan seharusnya menjadi simbol kemajuan politik perempuan. Tetapi kenyataannya, ia justru menjadi sasaran kritik non-substantif. Gaya komunikasinya yang formal dan diplomatis kerap dicap kaku, datar, bahkan membosankan. Kritik publik lebih sering menyasar pada ekspresi wajahnya yang ‘tidak karismatik’ atau keterkaitannya dengan dinasti politik. Padahal, sedikit sekali kritik yang benar-benar menyoal agenda politiknya, kualitas kepemimpinannya, atau performa legislatifnya.

Penilaian terhadap Puan lebih banyak dibentuk oleh prasangka gender ketimbang evaluasi kinerja. Ia bukan dilihat sebagai pemimpin, tetapi sebagai “anak dari Megawati”. Ini menunjukkan bahwa bahkan posisi tertinggi pun tidak menjamin kebebasan dari stereotip. Representasi simbolik tidak otomatis bermuara pada legitimasi publik.

Di sisi lain, figur seperti Najwa Shihab  menunjukkan bagaimana komunikasi politik perempuan dapat berfungsi sebagai alat pendidikan publik yang reflektif dan kritis. Lewat program Mata Najwa, ia menyuarakan isu-isu strategis korupsi, kekerasan seksual, etika pejabat public dengan pendekatan empatik yang tetap tajam. Najwa bukan politisi, tetapi memiliki pengaruh besar dalam membentuk kesadaran politik masyarakat.

Namun, keberanian itu tidak datang tanpa konsekuensi. Ketika menyentuh isu-isu sensitif, Najwa pun tak luput dari serangan seksis. Gaya bicaranya, penampilannya, bahkan otoritas intelektualnya menjadi sasaran pelecehan simbolik. Tetapi alih-alih mundur, ia menjadikan panggungnya sebagai ruang perlawanan. Ia membalikkan stigma menjadi narasi. Ia menunjukkan bahwa komunikasi dapat menjadi senjata perjuangan.

Puan dan Najwa, dalam posisi dan konteks yang berbeda, sama-sama menghadapi medan sosial-politik yang tidak sepenuhnya adil. Mereka mencerminkan satu realitas yang tak bisa diabaikan: bahwa representasi perempuan dalam politik tidak otomatis berarti penerimaan, apalagi kesetaraan.

Inilah sebabnya mengapa kuota 30 persen bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan yang lebih besar membangun ekosistem politik yang memungkinkan perempuan bersuara secara bebas dan otentik. Kita butuh ruang kekuasaan yang lebih ramah, pemberitaan media yang lebih adil, serta pendidikan publik yang tidak lagi mengukuhkan stereotip gender.

Demokrasi sejati mensyaratkan bukan hanya keterwakilan, tetapi keterlibatan yang bermakna. Politik tidak bisa terus didominasi oleh satu corak suara, satu gaya kepemimpinan, atau satu narasi kekuasaan. Kehadiran perempuan membawa warna baru bukan untuk menyaingi laki-laki, melainkan untuk memperkaya demokrasi dengan perspektif yang lebih manusiawi.

Di tengah kebisingan politik yang penuh kegaduhan dan kekerasan simbolik, suara perempuan menawarkan sesuatu yang justru paling dirindukan public, kejujuran, empati, dan keberanian yang tidak memekakkan. Dan mungkin, dalam dunia politik yang semakin kehilangan integritas, itulah yang benar-benar kita butuhkan.