Demo KPK Malut, Nama Sekda Ternate Disebut dalam Dua Kasus

10
Koalisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Maluku Utara yang terdiri dari Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM), Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI), dan Dewan Pimpinan cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC-GMNI) Kota Ternate

TERNATE, Corongpublik.com- Aksi unjuk rasa pecah di halaman Kantor Wali Kota dan DPRD Kota Ternate, Rabu, 18 Juni 2025. Koalisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Maluku Utara yang terdiri dari Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM), Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), melontarkan sejumlah Dugaan serius terhadap Pemerintah Kota Ternate, terutama yang menyeret nama Sekretaris Daerah Rizal Marsaoly.

Koalisi menyoroti dua kasus utama pembelian yaitu, lahan eks rumah dinas Gubernur Maluku Utara dan proyek pembangunan Training Ground di Kelurahan Tubo. Kedua kasus ini dinilai sarat kejanggalan dan berpotensi melanggar hukum.

Pembelian lahan bekas rumah dinas gubernur di Kelurahan Kalumpang senilai Rp2,8 miliar dari APBD 2018 menjadi sorotan utama. Mahkamah Agung dalam putusan kasasi Nomor 191/K/Pdt/2013 telah menolak gugatan kepemilikan dari pihak penjual, Noke Yapen, dan menyatakan lahan tersebut sebagai milik Pemerintah Provinsi Maluku Utara.

Namun, meski putusan sudah inkrah, Pemkot Ternate tetap membayar lahan tersebut melalui panitia pembebasan lahan yang saat itu dipimpin oleh Rizal Marsaoly, Kepala Dinas Perkim, yang kini menjabat Sekda Kota Ternate. Harga tanah ditetapkan Rp2,7 juta per meter tanpa merujuk pada NJOP. Dana disalurkan ke rekening Gerson Yapen melalui sebuah bank di Manado. Lebih dari Rp1 miliar disebut mengalir ke pihak lain, namun belum ada klarifikasi resmi.

“Ini transaksi dengan pihak yang kalah di tiga tingkat pengadilan. Harusnya dihentikan, bukan dibayar,” ujar koordinator aksi, Asiz Abubakar.

Isu kedua yang mencuat adalah pembangunan Training Ground di Kelurahan Tubo. Yuslan Marhaen menduga proyek tersebut melanggar Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Wilayah, karena dibangun di zona rawan bencana gunung api tipe I.

“Jika pembangunan tetap dijalankan, ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tapi bisa mengarah pada konspirasi kebijakan,” tegas Yuslan.

Tak berhenti di situ, Koalisi juga menyoal pengelolaan Stadion Gelora Kie Raha. Meski aset itu milik Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat, Pemkot Ternate menjalin MoU dengan klub Malut United dan diduga menarik retribusi pajak hiburan tanpa dasar regulasi yang jelas.

Dari berbagai temuan yang mencuat, Koalisi Pemberantasan Korupsi Maluku Utara menyampaikan enam poin tuntutan yang mencerminkan keresahan terhadap mandeknya penegakan hukum di Kota Ternate. Mereka mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk mengambil alih penyidikan kasus pembelian lahan eks rumah dinas gubernur yang dinilai janggal dan sarat pelanggaran.

Tak hanya itu, mereka juga menuntut Kejaksaan Tinggi Maluku Utara agar membuka kembali penanganan perkara yang selama ini mandek tanpa kejelasan. Nama Sekretaris Daerah Rizal Marsaoly pun ikut diseret, dengan tuntutan pencopotan dari jabatannya karena dianggap bertanggung jawab dalam proses pembebasan lahan bermasalah tersebut.

Koalisi juga mendesak Kepolisian Daerah dan Kejati Maluku Utara menelusuri aliran dana retribusi hiburan dari pengelolaan Stadion Gelora Kie Raha, yang dinilai tidak memiliki dasar hukum jelas. Mereka meminta DPRD Kota Ternate, khususnya Komisi I dan III, segera menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Pemkot dan pihak Malut United sebagai bentuk transparansi publik. ,” kata Yuslan mengakhiri orasinya.

mereka mendesak dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kepala Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) Kota Ternate, yang dinilai turut bertanggung jawab dalam tata kelola keuangan daerah yang amburadul.

Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kota Ternate belum memberikan tanggapan resmi. (Red)