Diamnya Kemendagri Dipertanyakan, Polemik Rangkap Jabatan Gubernur Sherly Kian Panas

35

JAKARTA, Corongpublik// Polemik rangkap jabatan Gubernur Maluku Utara, Sherly Djuanda, sebagai Komisaris Utama PT. Karya Wijaya kembali menuai sorotan publik. Pasalnya, aturan hukum secara tegas sudah melarang kepala daerah merangkap sebagai direksi maupun komisaris di perusahaan swasta, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 76 ayat (1) huruf c.

Tidak hanya itu, Pasal 78 ayat (2) UU yang sama juga menjelaskan konsekuensi hukum yang dapat dijatuhkan, yakni pemberhentian kepala daerah apabila terbukti melanggar larangan tersebut. Artinya, keberlanjutan jabatan gubernur berada dalam posisi rawan jika ketentuan hukum benar-benar ditegakkan.

Ketua Umum PB-FORMMALUT JABODETABEK, M. Reza A.S, mempertanyakan sikap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di bawah kepemimpinan Tito Karnavian yang hingga kini terkesan bungkam. Reza menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada Agustus 2025 lalu yang menyoroti kerugian negara akibat tambang ilegal hingga ratusan triliun rupiah, dengan menyebut adanya keterlibatan sejumlah jenderal dan aktor politik.

“Kali ini bukan sekadar tambang ilegal, tetapi soal seorang gubernur yang memiliki jabatan ganda. Apakah negara benar-benar tegas menegakkan aturan, atau hanya sekadar retorika?”ujarnya.

Lebih lanjut, Reza menegaskan kritik ini dialamatkan kepada pemerintah melalui Kemendagri. Namun, jika aturan tidak ditegakkan, ia menilai Presiden Prabowo sebaiknya segera mencopot Tito Karnavian dari kursi Mendagri. Kritik keras tersebut, menurutnya, merupakan bentuk desakan agar pemerintah tidak abai terhadap praktik yang mencederai hukum dan etika publik.

Kasus rangkap jabatan Sherly Djuanda kian menimbulkan kontroversi karena terkait langsung dengan perusahaan tambang, PT. Karya Wijaya, yang beroperasi di Pulau Gebe, Halmahera Tengah. Aktivis Maluku Utara di Jakarta menilai persoalan ini harus menjadi bahan diskusi publik sebelum berlanjut pada aksi turun ke jalan menuju Istana Negara maupun kantor Kemendagri.

Reza menyebut kondisi tersebut sebagai bentuk nyata konflik kepentingan. Menurutnya, rangkap jabatan gubernur tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga mencederai etika pemerintahan dengan menjadikan jabatan publik sebagai sarana melancarkan kepentingan bisnis.

“Presiden harus tegas. Diamnya Mendagri tanpa sanksi berarti merusak komitmen Presiden sendiri,” tegasnya.

Fenomena ini juga dapat ditinjau dari perspektif akademik. C. Wright Mills dalam The Power Elite menggambarkan adanya fusi kepentingan politik dan ekonomi di lingkaran elite, sementara Robert Klitgaard mengingatkan bahwa monopoli kekuasaan tanpa akuntabilitas adalah jalan menuju praktik korupsi. Analisis tersebut dinilai relevan dengan kondisi yang kini terjadi di Maluku Utara.

Publik kini menunggu langkah tegas Presiden Prabowo dan Mendagri Tito Karnavian dalam menyelesaikan persoalan ini. Jika pembiaran berlanjut, bukan hanya legitimasi gubernur yang dipertaruhkan, tetapi juga wibawa pemerintah pusat di mata rakyat Maluku Utara.

“Semoga saja berita ini dibaca oleh Tito Karnavian dan Presiden Prabowo,” pungkas Reza. (Tim/Red)