TERNATE, Corongpublik.com- PT Forward Matrics Indonesia (FMI) di Kabupaten Halmahera Timur kembali menjadi sorotan. Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Marhaenis (DPD GPM) Provinsi Maluku Utara mendesak aparat penegak hukum bertindak tegas, dan berencana menggelar aksi besar-besaran di Mapolda Malut dalam waktu dekat.
Dalam siaran pers yang diterima redaksi pada Jumat (23/5/2025), GPM menduga PT FMI melakukan aktivitas pertambangan tanpa mengantongi Izi Usaha Pertambangan (IUP) yang sah dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dua dokumen wajib yang menjadi syarat utama operasi tambang secara legal.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah bentuk kejahatan lingkungan dan pelanggaran hukum serius. Tanpa IUP dan AMDAL, negara kehilangan kendali atas eksploitasi sumber daya alam,” tegas Ketua DPD GPM Malut, Sartono.
Hasil investigasi GPM yang bersumber dari laporan masyarakat menunjukkan bahwa PT FMI diduga telah menguasai area tambang seluas 30 hektare, yang ironisnya berada di dalam wilayah konsesi milik PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT). Kendati tak memiliki legalitas formal, kegiatan penambangan disebut tetap berlangsung tanpa hambatan.
Lebih mencengangkan, GPM mengungkap adanya dugaan keterlibatan langsung pejabat daerah, termasuk Bupati dan Sekda Halmahera Timur, dalam memuluskan jalannya operasi PT FMI. Proses revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tengah berlangsung juga disinyalir dimanfaatkan sebagai celah untuk melegitimasi praktik ilegal ini.
“Indikasinya jelas ada kolusi antara pengusaha dan pejabat publik. Ini sudah masuk ranah pidana, bukan lagi sekadar maladministrasi,” ujar Sartono.
Dari aspek hukum, praktik yang dilakukan PT FMI tergolong illegal mining, yang melanggar Pasal 158 hingga 164 Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pasal 158 menyebutkan bahwa pelaku tambang tanpa izin dapat dipidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
“Kerusakan lingkungan, hilangnya penerimaan negara, potensi konflik sosial, dan pelanggaran keselamatan kerja (K3) adalah dampak nyata dari tambang ilegal,” tambahnya.
Ironisnya, hingga kini Inspektur Tambang pejabat fungsional Kementerian ESDM yang bertugas mengawasi kepatuhan teknis tambang belum menunjukkan progres pengawasan berarti terhadap aktivitas PT FMI. Hal ini memperkuat dugaan pembiaran sistemik yang berpotensi merusak kredibilitas pengawasan negara di sektor pertambangan.
Menanggapi dugaan pelanggaran ini, GPM Malut mengajukan empat tuntutan kepada pihak terkait:
- Polda Malut segera membuka penyelidikan terhadap aktivitas pertambangan PT FMI di Halmahera Timur.
- Pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pejabat daerah, terutama yang diduga terlibat dalam pemberian rekomendasi RTRW yang tidak sah.
- Gubernur Maluku Utara diminta segera mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin operasi PT FMI.
- DPRD Provinsi Malut diminta memanggil dan memeriksa PT FMI terkait dugaan pelanggaran IUP dan AMDAL.
Sementara itu, akademisi Fakultas Hukum Universitas Khairun (Unkhair) Dr. Aslan Hasan SH.,MH yang dikutip dari Haliyora.id memperingatkan bahwa ketiadaan IUP membuka ruang eksploitasi kawasan hutan lindung dan hutan produksi secara ilegal. Dampaknya, menurutnya, tidak hanya pada kerusakan ekosistem, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi tata kelola sumber daya alam di Maluku Utara.