Dinas Lempar ke Petani, Sewa Alsintan Jadi Polemik, Siapa Sebenarnya Diuntungkan?

19
Gambr hanya ilustrasi

HALUT, 10 Juli 2025-  Kepala Dinas Pertanian (Dispertan) Halmahera Utara, Piet Hein Onthony, akhirnya angkat bicara terkait tudingan pungutan liar (pungli) dalam pengelolaan sewa alat dan mesin pertanian (alsintan), khususnya traktor. Dalam klarifikasinya, Piet menegaskan bahwa pengelolaan sewa dilakukan langsung oleh kelompok tani, bukan oleh pihak dinas. Namun, sejumlah pertanyaan pun muncul, benarkah dinas lepas tangan, atau justru ada peran tidak transparan di balik kebijakan ini?

Pernyataan Piet disampaikan sebagai tanggapan atas pemberitaan sebelumnya pada sejumlah media oleh Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Marhaenis (DPD GPM) Maluku Utara,yang menuding adanya praktik pungli pada Dinas Pertanian Halut, di mana operator traktor disebut wajib menyetor Rp 3 juta per bulan ke Dinas. Tuduhan ini dibantah keras oleh Piet.

“Sewa traktor hanya Rp800 ribu per mulsa atau 500 meter gulutan, sudah disepakati oleh operator dan kelompok tani. Angka itu mencakup BBM, biaya kerusakan, dan upah operator,” ujar Piet.

Namun, angka ini berbeda jauh dari keluhan sejumlah petani yang merasa terbebani dan mempertanyakan transparansi mekanisme penyewaan serta distribusi keuntungannya.

Menurut Piet, latar belakang kebijakan ini adalah ketiadaan anggaran untuk perawatan alsintan, baik dari APBD maupun APBN sejak 2024. Karena itu, biaya perbaikan traktor diambil dari hasil penyewaan alat, bukan dari alokasi dana pemerintah.

“Dari 7 traktor mangkrak yang masing-masing bernilai Rp500 juta, 5 sudah diperbaiki melalui kerja sama dengan bengkel. Biayanya ditanggung dari uang sewa,’ jelasnya.

Kebijakan tersebut dianggap sebagai solusi mendukung program ketahanan pangan nasional yang digaungkan Presiden Prabowo. Namun ironi pun muncul, pemerintah menyuplai alat mahal ke petani, tapi tak menyediakan anggaran perawatan, lalu membebankan solusinya kepada petani sendiri.

Piet menambahkan bahwa saat ini masih ada utang pembayaran ke bengkel senilai Rp45 juta lebih, dari total Rp96 juta untuk perbaikan 7 unit traktor. Pembayaran ditargetkan rampung November 2025, setelah itu traktor akan diserahkan kembali kepada kelompok tani, disertai berita acara dan kewajiban merawat alat.

Namun hingga kini, belum jelas bagaimana kontrol atas sewa menyewa tersebut dilakukan. Jika dinas hanya sebagai “koordinator”, siapa yang memastikan tidak terjadi markup, penyalahgunaan, atau penarikan pungutan di luar kesepakatan?

Kasus ini menjadi hal yang sering terjadi dalam tubuh birokrasi daerah, keterbatasan anggaran dijadikan alasan, tetapi transparansi mekanisme pengganti tidak pernah dibuka ke publik. Jika benar sewa traktor hanya Rp800 ribu per unit, kenapa masih muncul tudingan pungli? Apakah ada kebocoran di tingkat operator, atau justru ketidakjelasan peran dinas dalam sistem ini? (Red).