TERNATE, Corongpublik// Dukungan terhadap 11 masyarakat adat Maba Sangaji yang tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Ternate terus menguat. Gelombang solidaritas datang dari berbagai elemen, mulai dari aktivis, pemuda, mahasiswa, hingga masyarakat desa.
Pada salah satu kunjungan Gubernur Maluku Utara, Sherly Joanda, warga bahkan sempat memalang jalan dan meminta langsung bantuan gubernur untuk membebaskan para terdakwa. Namun, tanggapan gubernur yang terekam dalam postingan akun media sosial @s_tjo dianggap singkat dan dingin, sehingga menuai kritik.
Persoalan ini kian pelik setelah muncul rumor baru mengenai dugaan kepemilikan saham anak Kapolri di PT Position, perusahaan tambang yang beroperasi di Halmahera Timur. Isu ini dinilai publik berpotensi memengaruhi objektivitas proses hukum yang menjerat 11 warga Maba Sangaji.
Tak hanya itu, Gubernur Sherly Joanda juga dituding enggan membantu warga adat karena memiliki kepentingan bisnis di sektor tambang. Ia disebut menguasai 71 persen saham PT Karya Wijaya, perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, dan kini tengah disorot terkait dugaan pelanggaran hukum.
PT Position sendiri beberapa hari terakhir menjadi langganan komentar publik. Solidaritas Muda Indonesia Timur (SMIT) secara terbuka menuntut pembebasan 11 warga adat sekaligus mendesak penghentian aktivitas perusahaan tersebut di Maluku Utara.
Ketua Umum SMIT, Mesak Habari, menegaskan pihaknya mengecam keras kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Menurutnya, penahanan 11 warga usai memprotes tambang PT Position mencerminkan ketidakadilan hukum yang nyata.
Mesak menilai aparat penegak hukum, mulai dari Polda Maluku Utara, Kejaksaan, hingga pengadilan, gagal berdiri di sisi rakyat. “Alih-alih melindungi hak masyarakat atas tanah dan lingkungan, aparat justru lebih condong pada kepentingan korporasi,” tegasnya.
Tak hanya kasus kriminalisasi, PT Position juga terseret sengketa lain. Perusahaan ini diketahui berkonflik dengan PT WKM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dugaan penerobosan lahan.
Dukungan bagi 11 warga Maba Sangaji juga datang dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional bersama simpulnya di Maluku Utara. Pada 1 Oktober 2025, JATAM secara resmi menyerahkan dokumen Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan kepada Majelis Hakim di PN Soasio, Tidore Kepulauan.
Dalam siaran persnya, JATAM menilai dakwaan terhadap 11 warga adat menggunakan pasal-pasal hukum usang dan tidak relevan. “Dakwaan itu hanya alat kriminalisasi tanpa dasar hukum yang kuat,” tulis JATAM dalam pernyataannya.
Sorotan serupa juga datang dari parlemen. Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, menegaskan negara wajib melindungi masyarakat adat. “Hak-hak masyarakat adat tidak boleh dikorbankan demi kepentingan bisnis pertambangan. Ini terjadi di banyak tempat, termasuk Maluku Utara,” tegasnya.
Selain PT Position, Gubernur Malut Sherly Joanda turut terseret polemik lain. Ketua DPD Pemuda Solidaritas Merah Putih (PSMP) Maluku Utara, Mudasir Ishak, mengungkapkan PT Karya Wijaya perusahaan tambang yang disebut milik gubernur beroperasi tanpa izin lengkap dan merusak ekosistem Pulau Gebe.
Menurut Mudasir, PT Karya Wijaya menambang di lahan seluas 1.145 hektare tanpa mengantongi izin PPKH, izin jetty, serta tidak menempatkan jaminan reklamasi pascatambang. Dugaan ilegalitas ini bahkan ikut dibahas dalam rapat Komisi IV DPR RI bersama Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, di Ternate pekan lalu.
PSMP menuntut Sherly Joanda memulihkan kerusakan Pulau Gebe dengan estimasi biaya Rp1 triliun. Biaya itu mencakup rehabilitasi hutan, pemulihan terumbu karang, perbaikan DAS, hingga kompensasi kerugian sosial-ekonomi masyarakat pesisir.
Pakar hukum juga menilai kepemilikan saham 71 persen PT Karya Wijaya oleh Sherly melanggar UU ASN dan UU Minerba. “Ini pelanggaran serius. Gubernur punya kewenangan mencabut izin, termasuk milik perusahaannya sendiri,” tegas praktisi hukum Mahri Hasan. (Tim/Red)




