MOROTAI, Corongpublik// Kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) Pulau Morotai terkait penghentian pembayaran gaji terhadap enam Aparatur Sipil Negara (ASN) berstatus mantan terpidana korupsi (Tipikor) menuai sorotan. Dugaan diskriminasi muncul setelah ditemukan bahwa sebagian ASN yang namanya masuk dalam surat penghentian gaji justru masih menerima pembayaran pada Desember 2025.
Surat resmi bernomor 800.1/764/SETDA-PM/XI/2025, ditandatangani Sekda Pulau Morotai Muhammad Umar Ali pada 4 November 2025, mencantumkan enam nama ASN yang gajinya harus dihentikan, yakni Reinhar Jongky Makangiras, Monalisa Hairudin, Muhammad Setiawan Kaplale, Yofani Bandari, Adil Makmur, dan Aprianto Melkias Siruang. Surat tersebut ditujukan kepada Kepala BPKAD Morotai untuk penghentian pembayaran pada Desember 2025.
Namun, berdasarkan bukti pembayaran gaji tertanggal 2 Desember 2025, tiga ASN Monalisa Hairudin, Reinhar Jongky Makangiras, dan Muhammad Setiawan Kaplale masih menerima gaji, meski nama mereka tercantum dalam daftar penghentian.
Tidak hanya itu, dugaan pelanggaran lebih serius mencuat setelah ditemukan pembayaran gaji kepada seseorang berinisial AT, mantan Bendahara Dinas Pariwisata, yang saat ini masih menjalani masa tahanan di Lapas Ternate, Kelurahan Jambula. AT diketahui termasuk dalam surat penghentian gaji, namun tetap menerima pembayaran.
Secara keseluruhan, empat ASN yang berada dalam daftar penghentian ternyata tetap dibayar gajinya. Ironisnya, satu ASN yang telah bebas dan kembali aktif bekerja, Yofani Bandari, justru tidak menerima gaji hingga sekarang.
Situasi tersebut memicu kritik dari praktisi hukum Tamhid H. Idris, S.H., yang menilai kebijakan Pemda Morotai mengandung unsur ketidakadilan dan pelanggaran administrasi.
Menurutnya, tindakan tersebut melanggar UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 17, yang menjamin hak setiap warga untuk memperoleh keadilan. Selain itu, kata Tamhid, beberapa ketentuan dalam administrasi pemerintahan juga diduga dilanggar.
“Kebijakan ini tidak hanya diskriminatif, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum,” tegasnya.
Sementara itu, Sekda Pulau Morotai Muhammad Umar Ali belum memberikan tanggapan saat dihubungi wartawan hingga berita ini ditayangkan.
—TIM/RED—




