TERNATE, Corongpublik// Lembaga Kajian dan Advokasi Pertambangan Indonesia (eLKAPI) menyoroti kinerja Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan. Meski Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2025 dinilai penting untuk menindak perusahaan tambang ilegal, eLKAPI mengingatkan implementasi regulasi ini berpotensi memicu konflik agraria baru jika tidak dijalankan secara hati-hati.
Sekretaris Jenderal eLKAPI, Farid Ahmad, menyebut frasa “Setiap Orang” dalam Pasal 2 Ayat 2 PP tersebut rawan menimbulkan persoalan, pasal itu bisa ditafsirkan secara luas sehingga bukan hanya menjerat perusahaan tanpa izin, tetapi juga mengancam petani, masyarakat adat, dan warga pedesaan yang sudah lama menggarap lahan namun kerap terjebak dalam status kawasan hutan negara. “Satgas PKH harus berhati-hati, jangan sampai penertiban justru memukul kelompok rentan yang sejak lama berkonflik karena klaim sepihak negara atas tanah,” ujarnya, Sabtu (13/9/2025).
eLKAPI menegaskan bahwa penertiban kawasan hutan seharusnya memperkuat agenda Reforma Agraria, bukan malah memperuncing konflik. Di Maluku Utara, sejarah panjang penyerobotan lahan pertanian dan tanah adat oleh perusahaan tambang telah meninggalkan jejak konflik sosial yang belum tuntas. Jika penertiban dilakukan tanpa peta konflik yang jelas kebijakan yang dimaksudkan untuk menegakkan hukum justru bisa memperparah ketidakadilan agraria.
Lebih jauh, Farid memperingatkan adanya praktik manipulasi yang kerap terjadi dalam penertiban lahan. “Jangan sampai lahan yang disita dari perusahaan ilegal kemudian dialihkan ke perusahaan lain melalui mekanisme baru. Itu hanya akan memperlebar lingkaran konflik dan menggerus kepercayaan publik terhadap Satgas PKH maupun pemerintah,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa masalah klasik tumpang tindih tata ruang masih menghantui kebijakan penertiban. Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat ribuan hektare lahan masyarakat adat di Maluku Utara belum mendapat pengakuan formal, sementara dalam dokumen negara masuk dalam kawasan hutan. Kondisi inilah yang berpotensi menjadi celah konflik saat Satgas PKH turun melakukan penertiban.
Menurut eLKAPI, solusi yang adil hanya bisa dicapai dengan mengedepankan transparansi, pemetaan partisipatif, dan keterlibatan masyarakat adat serta petani dalam setiap proses penertiban. Tanpa itu, PP No. 5 Tahun 2025 akan menjadi pisau bermata dua, di satu sisi memberantas perusahaan ilegal, di sisi lain melukai rakyat kecil yang justru menjadi korban kebijakan.
Karena itu, eLKAPI mendesak pemerintah pusat maupun daerah untuk memastikan implementasi Satgas PKH selaras dengan prinsip Reforma Agraria, perlindungan lingkungan, dan penghormatan hak-hak masyarakat adat. “Jangan sampai niat menertibkan kawasan hutan malah berubah menjadi sumber konflik horizontal dan merusak tatanan sosial di Maluku Utara,” pungkas Farid.
_(Tim/Red)_