Empat Tambang Disegel, Satu Dibiarkan : PT Karya Wijaya Diduga Jadi Anak Emas di Malut

79

TERNATE, Corongpublik// Lemahnya pengawasan terhadap aktivitas tambang di Maluku Utara kembali di kritik tajam oleh Ketua Pemuda Solidaritas Merah Putih (PSMP) Maluku Utara. Mudasir Ishak, menilai instansi fungsional seperti Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (Bapedal), inspektur tambang, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkesan mandul dan gagal menjalankan fungsi pengawasan.

Dalam rilis resminya, Jumat (10/10/2025), Mudasir menyebut lemahnya pengawasan itu berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat sekitar tambang, mulai dari kerusakan lingkungan, pencemaran laut, hingga hilangnya mata pencaharian warga pesisir.

“Pengawasan yang ketat dan berkelanjutan mutlak diperlukan agar kegiatan pertambangan berjalan secara bertanggung jawab,”ujarnya.

Ia menegaskan bahwa inspektur tambang, Bapedal, dan KKP semestinya menjadikan kondisi lingkungan Maluku Utara sebagai perhatian serius. Namun, kenyataannya, kata dia, air laut yang dulu jernih kini kembali keruh dan berubah warna menjadi kecoklatan.

“Aneh juga, instansi pengawasan begitu banyak, tapi semua terkesan ompong dan bernaung di bawah ketiak korporasi,”sindirnya tajam.

Mudasir, yang akrab disapa Dace, menyoroti aktivitas tambang di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, yang terus menimbulkan dampak lingkungan serius. Ia menuding KKP melalui Direktorat Jenderal PSDKP,Satgas Penertiban Kawasan Hutan, serta instansi terkait lainnya bersikap acuh terhadap penderitaan masyarakat di sekitar wilayah tambang.

PSMP Malut menilai langkah KKP menghentikan empat perusahaan tambang sebagai langkah tepat, namun disayangkan hanya menyasar sebagian pihak. Empat perusahaan yang disegel karena belum tertib izin antara lain PT Alngit Raya,.PT Adita Nikel Indonesi, PT Makmur Jaya Lestari, dan PT Jaya Abadi Semesta. Yang jadi tanda tanya besar, kenapa PT Karya Wijaya justru dibiarkan beroperasi padahal memiliki banyak dugaan pelanggaran?”tegas Dace.

Ia menilai penegakan hukum di sektor tambang masih tebang pilih. “Polda Maluku Utara sedang menyelidiki dugaan pembangunan jetty ilegal milik PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur, tapi aktivitas serupa yang dilakukan PT Karya Wijaya di Pulau Gebe justru dibiarkan. Ini tidak adil,”katanya menyesalkan.

Polda Maluku Utara juga wajib menyelidiki pembangunan jetty milik PT Karya Wijaya, yang diduga tidak memiliki izin reklamasi maupun Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

“Jika dugaan ini benar, maka itu pelanggaran pidana. Hukum tidak boleh pilih kasih,” tegasnya.

Mudasir memaparkan, dugaan pelanggaran PT Karya Wijaya bukan tanpa dasar. Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI tertanggal 24 Mei 2024, perusahaan itu disebut belum meiin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH), belum menempatkan jaminan reklamasi pascatambang, dan belum mengantongi izin jetty. Fakta ini, menurutnya, memperkuat indikasi lemahnya pengawasan lintas instansi.

Lebih jauh, izin operasi PT Karya Wijaya diterbitkan sejak masa almarhum Gubernur Abdul Gani Kasuba melalui SK Nomor 502/34/DPMPTSP/XII/2020 untuk areal seluas 500 hektare. Pada Januari 2025, izin itu diperbarui Halmahera Tengah dan Halmaher. Namun, di tengah perpanjangan izin itu, perusahaan justru terseret sengketa di PTUN dengan PT FBLN karena dituding menambang di wilayah konsesi perusahaan lain.

Pantauan lapangan Corongpublik menunjukkan indikasi kerusakan lingkungan semakin parah. Air laut di pesisir Pulau Gebe tampak kecoklatan di sekitar Desa Elfanun dan Desa Kapaleo, wilayah yang berdekatan dengan jetty milik PT Karya Wijaya, PT Mineral Trobos, dan PT Smart Marsindo. Kondisi ini diduga akibat tidak adanya kolam pengendapan (sediment pond) untuk menahan limpasan air tambang.

Alhasil, setiap hujan deras, air bercampur lumpur mengalir langsung ke laut, mencemari perairan dan mengancam biota pesisir. Warga serta pemerhati lingkungan khawatir, jika situasi ini terus dibiarkan, ekosistem laut di Pulau Gebe akan rusak permanen padahal wilayah tersebut menjadi sumber utama penghidupan nelayan.

Selain mencederai lingkungan, aktivitas PT Karya Wijaya juga diduga melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU tersebut melarang eksploitasi di kawasan pulau kecil, sebagaimana dipertegas dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menekankan pentingnya perlindungan pulau kecil dari kerusakan permanen demi keberlanjutan sumber daya alam. (Tim/Red)