Fakta dan Pena Jurnalis!

27

Penulis : Ahkam Kurniawan Buamona.

Di balik setiap berita yang terbit, ada tangan yang menulis dan hati yang berpikir. Di sanalah jurnalis berdiri, di antara keharusan menyampaikan fakta dan tanggung jawab moral terhadap apa yang dituliskan. Menjadi jurnalis bukan hanya tentang menyalin kenyataan, tapi juga tentang merasakan denyut manusia yang ada di dalamnya.

Seringkali, publik melihat wartawan hanya sebagai penyampai kabar. Tapi sejatinya, pena jurnalis adalah mata ketiga masyarakat. Ia melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh kamera, mendengar apa yang tidak bisa diungkapkan mikrofon. Dalam sunyi ruang redaksi, kami merangkai kalimat bukan sekadar untuk diberitakan, tapi untuk dipahami dan kadang, untuk diingatkan.

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, tekanan terhadap kecepatan seringkali membuat kebenaran terdesak. Namun di situlah nilai sejati jurnalisme diuji. Apakah kita tetap menulis dengan akurasi, atau tergelincir dalam sensasi?

Tak jarang, jurnalis berdiri di batas tajam antara idealisme dan tekanan industri. Kami dituntut untuk objektif, namun tetap ditantang untuk peka. Di satu sisi, ada algoritma yang mengejar klik dan tayangan. Di sisi lain, ada nurani yang tak bisa dibohongi oleh angka-angka dan kenyataan mata.

Saya percaya, jurnalisme sejati bukan soal siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling bertanggung jawab. Tulisan yang baik tidak hanya memuat data, tapi juga menggugah rasa. Karena di sanalah fungsi sosial jurnalis lahir sebagai pengingat, penyeimbang, dan kadang dianggap perlawanan terhadap lupa.

Namun, menjadi jurnalis hari ini juga berarti bersiap menjadi sasaran. Fitnah, intimidasi, hingga ancaman adalah risiko yang semakin nyata, terutama bagi mereka yang menulis tentang ketidakadilan dan korupsi. Tapi apakah kita harus diam? Tidak, karena jika pena jurnalis berhenti, maka suara rakyat akan kehilangan gaungnya.

Saya tidak mengatakan bahwa semua jurnalis suci. Dunia ini penuh bias dan kepentingan. Tapi dalam ruang kecil yang masih jujur, kami berusaha menyisipkan cahaya lewat satu kalimat yang benar, satu judul yang adil, satu berita yang membuat pembaca berpikir, bukan sekadar terhibur.

Pena jurnalis, seperti halnya cermin, harus bersih dari kabut. Ia tidak boleh retak oleh tekanan, atau tergores oleh bayaran. Karena sekali ia goyah, maka berita berubah menjadi propaganda, dan kepercayaan berubah menjadi kecurigaan.

Kita tidak butuh jurnalis yang hebat dalam berkata-kata saja. Kita butuh jurnalis yang berani menjaga kebenaran, meski kadang harus menulisnya dalam sepi.