FPK-Malut Geruduk KPK: Yang Dikasih Uang Ditangkap, Yang Ngasih Malah Melenggang?

20
Alfian Sangaji
Koordinator Aksi FPK-Malut, Alfian Sangaji, dengan suara lantang menyuarakan kekecewaan. Ia menyebut KPK dinilai melakukan "diet hukum"(Foto:/Corongpublik)

JAKARTA, Corongpublik.com- Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali bergemuruh, bukan karena gempa, tapi karena teriakan mahasiswa dan pemuda yang ogah tinggal diam. Forum Perjuangan Keadilan Maluku Utara (FPK-Malut) kembali turun ke jalan. Aksi jilid II ini digelar Rabu (28/5/2025) di depan gedung KPK RI tempat yang seharusnya jadi simbol harapan rakyat, bukan tempat main tebak-tebakan siapa yang ditangkap, siapa yang lolos.

Mereka datang membawa satu tuntutan jelas “KPK jangan pilih-pilih!” Kalau mantan Gubernur Maluku Utara, almarhum KH. Abdul Gani Kasuba (AGK) sudah diproses, maka para “dermawan” alias penyuapnya juga harus ikut antre di jalur hukum. Masa iya, yang disuap diproses, tapi yang nyuap malah bisa piknik?

Koordinator Aksi FPK-Malut, Alfian Sangaji, dengan suara lantang menyuarakan kekecewaan. Ia menyebut KPK dinilai melakukan “diet hukum”, hanya menyasar pihak tertentu, sementara para kontraktor yang menyuap AGK, seperti Direktur PT. Hijrah Nusatama, Hi. Hadiruddin H. Saleh dan Direktur PT. Albarka, Abdi Abdul Aziz, belum juga disentuh hukum.

“Fakta putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sudah terang benderang, kayak lampu stadion jelas disebutkan mereka yang memberi uang ke AGK. Tapi kok belum jadi tersangka? Ini gimana ceritanya?” ucap Alfian dengan nada tajam, separuh bingung, separuh geram.

Berdasarkan Putusan Nomor 11/Pid.Sus-TPK/2024/PN Tte, AGK menerima duit pelicin sebesar Rp 6,2 miliar dari Hadiruddin via makelar proyek bernama Saifuddin Djuba dan Daut Ismail. Sementara Abdi Abdul Aziz tak mau kalah royal, menyumbang Rp 967,5 juta via transfer ke berbagai rekening ajudan dan sekretaris pribadi AGK, plus uang tunai Rp 255 juta. Total gratifikasi dari satu orang ini saja tembus Rp 1,22 miliar. Kalau ini bukan suap, mungkin namanya sumbangan sosial versi elite.

“Ini bukan bantuan kemanusiaan, ini gratifikasi berjamaah. Kalau tidak ditindak, publik bisa berpikir: lebih aman jadi penyuap daripada jadi pejabat,” tambah Alfian, sambil menyindir bahwa penegakan hukum jangan seperti sinetron panjang, tapi nggak jelas ending-nya.

Sebagai bentuk keseriusan, FPK-Malut bahkan sudah menyerahkan dokumen resmi ke KPK. Tapi hingga kini, entah dokumen itu dibaca, disimpan, atau dijadikan alas gelas kopi, belum ada kejelasan lebih lanjut dari lembaga antirasuah.

Alfian pun menutup orasinya dengan pengingat keras. Bahwa KPK dibentuk bukan untuk “pura-pura sibuk”, tapi untuk menjalankan tugas sesuai UU No. 19 Tahun 2019. Artinya, semua pihak yang terlibat dalam korupsi baik yang menerima maupun yang memberi harus dihukum tanpa tebang pilih, tanpa drama, dan tanpa pakai kacamata kuda.

“Kasus ini luar biasa, bukan cuma karena nilainya, tapi karena ini ujian moral KPK. Jangan sampai publik berpikir: korupsi itu sah, asal jatah disetor,” tegas Alfian sebelum meninggalkan mimbar aksi.

Kalau KPK masih diam, FPK-Malut berjanji: “Aksi jilid III siap digelar. Kalau perlu, kita nginap di depan gedung KPK. Biar mereka tahu, rakyat belum tidur!”