
TERNATE, Corongpublik.com- Puluhan demonstran yang tergabung dalam Front Marhaenis Maluku Utara mendatangi Kantor Gubernur Maluku Utara, Rabu, 18 Juni 2025. Mereka menuntut transparansi dan kepastian pembayaran utang pihak ketiga oleh pemerintah provinsi, serta penghentian aktivitas dua perusahaan tambang yang dinilai bermasalah di Halmahera Timur.
Aksi ini berlangsung di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap tata kelola keuangan dan sumber daya alam di wilayah tersebut. Massa sempat terlibat ketegangan dengan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang berjaga di gerbang kantor gubernur. Mereka berupaya masuk ke halaman kantor pemerintahan, namun dihalangi aparat. Suasana makin panas ketika massa menahan mobil dinas 01 Pemprov Malut, yang mereka duga membawa Gubernur Sherly Tjoanda Laos.

Sartono Halek, Koordinator Aksi, dalam orasinya menyoroti pola pemerintahan yang dinilainya kian menjauh dari prinsip good governance. “Hari ini rakyat disodorkan kenyataan pahit. Utang proyek yang telah selesai dikerjakan tak kunjung dibayar, sementara anggaran daerah terus berjalan tanpa kejelasan prioritas,” ujar Sartono.
Menurutnya, utang pihak ketiga yang belum dibayar menjadi beban yang meresahkan. Selain menurunkan kepercayaan pelaku usaha terhadap pemerintah, kondisi ini juga berpotensi menghambat pembangunan infrastruktur yang tengah berjalan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2023, kewajiban Pemprov terhadap pihak ketiga harus dicatat dan diselesaikan. Namun, hingga pertengahan tahun ini, komitmen Gubernur Sherly Tjoanda untuk melunasi seluruh utang tersebut pada 2025 justru tak tampak dalam struktur APBD Induk. Hal ini memunculkan tanda tanya besar di kalangan publik.
Selain isu utang, massa aksi juga membawa tuntutan lingkungan. Mereka mendesak Inspektur Tambang dan Badan Pengendali Lingkungan Hidup (Bapedal) Provinsi Malut agar segera mengeluarkan rekomendasi penghentian aktivitas pertambangan dua perusahaan PT JAS dan PT ARA, yang beroperasi di Halmahera Timur.
Juslan J. Hi Latif, orator aksi lainnya, menilai aktivitas dua perusahaan itu memunculkan kekhawatiran soal dampak lingkungan yang belum ditangani secara transparan. “Kami minta Pemprov dan DPRD tidak tutup mata. Harus ada sikap tegas terhadap kegiatan tambang yang berpotensi merusak wilayah hidup masyarakat,” tegas Juslan.
Dalam aksinya, Front Marhaenis merumuskan sejumlah desakan strategis kepada pemerintah daerah. Mereka mendesak Gubernur Maluku Utara agar segera menyelesaikan kewajiban pembayaran utang kepada pihak ketiga, yang hingga kini belum ditunaikan. Tak hanya itu, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Malut juga diminta mempercepat proses pencairan pembayaran sebagai bentuk tanggung jawab atas kontrak-kontrak pengadaan yang telah rampung.
Mereka juga, menuntut DPRD Maluku Utara agar lebih proaktif mendorong transparansi serta melakukan evaluasi mendalam terhadap alokasi dan pelaksanaan APBD, khususnya yang menyangkut beban utang tersebut. Selain isu fiskal, massa juga menyoroti persoalan lingkungan. Mereka mendesak Inspektur Tambang dan Badan Pengendali Lingkungan Hidup (Bapedal) bersama DPRD segera mengeluarkan rekomendasi penghentian aktivitas pertambangan PT JAS dan PT ARA yang beroperasi di Halmahera Timur.
Sayangnya, hingga unjuk rasa selesai digelar, tak ada satupun perwakilan Pemerintah Provinsi yang turun menemui massa. (Jurnalis: Andi/Red)