JAKARTA,Corongpublik.com- Puluhan massa aksi yang tergabung dalam Front Pemuda Morowali Peduli Tambang (FP-MPT) menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin, (10/6/2025). Aksi ini memprotes aktivitas pertambangan yang diduga ilegal dan merusak lingkungan di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Dalam orasinya, Koordinator Aksi, Diyan Laode, menuding kehadiran korporasi tambang justru memperparah krisis ekologis yang telah lama melanda wilayah pesisir dan daratan Sulawesi Tengah. Ia menyebut aktivitas tersebut sebagai bentuk persekutuan antara kekuatan modal dan elite lokal yang nyaris luput dari pengawasan hukum.
Salah satu sorotan utama FP-MPT adalah dugaan keterlibatan Ketua DPRD Morowali Utara, Warda Dg Mamala, dalam kepemilikan tersembunyi perusahaan tambang CV Surya Amindo Perkasa. Perusahaan ini diduga menjalankan operasi di luar wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP), sebuah tindakan yang masuk kategori illegal mining.
“Jika benar Warda memiliki kaitan dengan perusahaan ini, maka itu bukan hanya konflik kepentingan, melainkan indikasi kuat pengkhianatan terhadap mandat rakyat,” ujar Diyan dalam orasinya.
FP-MPT menilai keterlibatan pejabat publik dalam bisnis ekstraktif melanggar sejumlah aturan perundang-undangan. Di antaranya Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang melarang pejabat mengambil keputusan jika memiliki konflik kepentingan. Selain itu, Pasal 5 dan 6 UU No. 28 Tahun 1999 melarang penyelenggara negara menggunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
“Legislator yang merangkap sebagai pebisnis tambang akan menjadikan kekuasaan sebagai alat akumulasi kapital, bukan alat pelayanan publik,” kata Diyan. Ia menyebut kondisi itu sebagai bentuk oligarkisasi demokrasi lokal.
FP-MPT juga menyinggung potensi pelanggaran pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang menyebutkan bahwa aktivitas tambang tanpa izin dapat dipidana penjara hingga lima tahun dan denda hingga Rp 100 miliar.
Jika terdapat penyalahgunaan wewenang oleh pejabat untuk melindungi tambang ilegal, Pasal 161A UU Minerba pun dapat dikenakan. Sementara itu, dugaan pencemaran laut akibat pembuangan limbah juga dapat dijerat menggunakan Pasal 98 dan 116 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebut tanggung jawab pidana korporasi dapat dibebankan pada pimpinan perusahaan.
“Kami mendesak KLHK segera memanggil dan memeriksa Direktur Utama CV Surya Amindo Perkasa,” tegas Diyan.
FP-MPT menyampaikan empat tuntutan utama:
- Mendesak Bareskrim Polri menyelidiki dan memeriksa Warda Dg Mamala atas dugaan kepemilikan tersembunyi CV Surya Amindo Perkasa.
- Mendesak KLHK melakukan investigasi atas pencemaran laut dan mencabut izin lingkungan perusahaan tersebut.
- Mendesak Kementerian ESDM mencabut IUP CV Surya Amindo Perkasa.
- Menuntut dihentikannya praktik pertambangan ilegal di Morowali Utara.
FP-MPT mengingatkan bahwa demokrasi lokal akan runtuh bila terus dikuasai oleh oligarki sumber daya alam. “Ketika elite legislatif menjelma menjadi pengusaha tambang, rakyat kehilangan pelindungnya dan hukum kehilangan maknanya,” kata Diyan.
Mereka menutup aksinya dengan peringatan: “Kekuasaan yang tak diawasi akan menjelma menjadi kuasa yang menindas. Di tanah yang kaya, rakyat menjadi miskin karena hukum lebih tunduk pada modal ketimbang pada kehidupan.”