TERNATE, Corongpublik.com-Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Provinsi Maluku Utara kembali turun ke jalan, Rabu,( 4/6/2025). Massa aksi mendatangi Kejaksaan Tinggi dan Polda Maluku Utara untuk mendesak Kejaksaan Agung segera mengambil alih penanganan kasus dugaan kejahatan lingkungan dan tambang ilegal di Kecamatan Wasile, Halmahera Timur.
Dalam aksinya, GPM membawa spanduk hitam bertuliskan tuntutan penyelidikan terhadap dua perusahaan tambang, PT Alam Raya Abadi (ARA) dan PT Jaya Abadi Semesta (JAS). Kedua perusahaan itu dituding sebagai penyebab rusaknya lebih dari 30 hektare sawah produktif milik warga serta mencemari aliran sungai irigasi yang selama ini menjadi sumber utama air bersih dan pertanian.
Bukti kerusakan lingkungan itu, menurut GPM, terlihat dari perubahan warna air sungai menjadi kecoklatan yang diduga akibat limbah tambang yang dibuang langsung ke sistem perairan warga.
Ketua DPD GPM Maluku Utara, Sartono Halek, menyebut persoalan ini bukan semata pelanggaran administratif. Ia menyebutnya sebagai bentuk “kejahatan sistemik” yang melibatkan kolusi antara perusahaan tambang dan elit pemerintahan daerah.
“Ini bukan sekadar pelanggaran izin. Ini adalah bentuk nyata dari pembiaran negara terhadap praktik tambang ilegal yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Negara absen, sementara rakyat dikorbankan,” ujar Sartono dalam orasinya di depan Polda Malut.
GPM juga menyoroti skandal penjualan ilegal 90 ribu metrik ton ore nikel yang diduga melibatkan langsung Bupati dan Sekretaris Daerah Halmahera Timur. Kedua pejabat tersebut, menurut Sartono, menjadi fasilitator utama dalam distribusi ore nikel ke pasar gelap.
Dalam orasi terpisah, , Andi J. Latif, meminta aparat penegak hukum tak tinggal diam terhadap praktik kejahatan korporasi di sektor tambang. Ia menambahkan, selain PT ARA dan PT JAS, nama perusahaan lain seperti PT Wana Kencana Mineral (WKM) juga perlu diperiksa. Perusahaan ini diduga menjual ore nikel senilai Rp30 miliar secara ilegal, padahal nikel tersebut merupakan milik PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT) yang telah kehilangan izin operasinya.
“Penegakan hukum hari ini tampak tumpul ke atas, tajam ke bawah. Rakyat kecil mencuri kayu dihukum, sementara pejabat dan korporasi perampok sumber daya justru dilindungi,” kata Andi lantang.
Tak hanya itu, GPM juga mengungkap dugaan pelanggaran lain yang mereka sebut sebagai bagian dari jejaring korupsi sumber daya alam. PT Amin, misalnya, diduga mencuci alat berat langsung di sungai tanpa pengolahan limbah. PT Forward Matrics Indonesia (FMI) disebut beroperasi tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), bahkan ditengarai menyuap pejabat daerah.
GPM menuntut Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan, serta meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera melakukan audit lingkungan di wilayah tambang Halmahera Timur.