Ternate, Corong Publik// Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Marhaenis (DPD GPM) Maluku Utara mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara untuk segera menuntaskan penanganan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan proyek normalisasi kali di Kabupaten Kepulauan Sula yang berlangsung sejak tahun anggaran 2023 hingga 2025. Total nilai proyek diperkirakan mencapai Rp7.093.852.483,61.
Meski kasus ini telah ditangani Kejati Malut, hingga kini belum ada perkembangan signifikan. “Sudah berulang kali kami suarakan, tapi belum ada progres yang nyata,” tegas Ketua DPD GPM Malut, Sartono.
Hasil investigasi lapangan GPM menunjukkan adanya dugaan praktik proyek fiktif dan pelanggaran teknis. Pada tahun 2023 terdapat sembilan paket pekerjaan senilai lebih dari Rp1,6 miliar. Tahun 2024 terdapat 20 paket proyek hampir menyentuh angka Rp4 miliar, dan tujuh paket lainnya dijadwalkan pada 2025 dengan nilai sekitar Rp1,3 miliar.
“Proyek-proyek ini tersebar di berbagai desa di Pulau Sulabesi dan Pulau Mangoli. Namun anehnya, beberapa perusahaan mengerjakan lebih dari dua proyek di lokasi yang berjauhan secara bersamaan, yang secara teknis mustahil dilakukan,” ungkap Sartono.
GPM secara terbuka menyebut sejumlah nama pejabat dan pihak swasta yang patut diduga terlibat, di antaranya lejabat pemerintah Jaunidin Umaternate Kepala Dinas PUPR dan juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Sabarun Umaternate (Adik dari Kadis PUPR), Melly (Staf honorer di lingkungan dinas) dan Muhlis Soamole (Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sula).
Sementara itu dari pihak rekanan dan perusahaan adalah Cahaya Alvira, Awdi Pratama, Ainur, Thita Mulia, Bintang Barat Perkasa, Permata Membangun, Permata Hijau, Permata Bersama dan Nuril Jaya
GPM mendesak agar Kejati Malut dan juga Polda Maluku Utara segera memanggil dan memeriksa para pihak tersebut, termasuk para direktur dari perusahaan yang disebutkan.
GPM juga meminta Kejati untuk melakukan verifikasi langsung ke lokasi proyek, menelusuri dokumen pelaksanaan, serta menggali keterangan dari warga desa penerima proyek. Sartono menegaskan bahwa dugaan KKN ini tidak bisa dianggap sekadar pelanggaran administratif.
“Ini indikasi kuat kejahatan terorganisir yang merugikan keuangan negara dan mengorbankan hak rakyat,”tegasnya.
GPM juga merujuk pada sejumlah dasar hukum yang diduga dilanggar, di antaranya UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2, 3, dan 9) Pasal 55 dan 56 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Sartono menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga ada tindakan hukum nyata dari aparat penegak hukum.
“Kami tidak akan berhenti sampai semua pihak yang terlibat diproses sesuai hukum yang berlaku,” pungkasnya.(Tim/Red)*