GPM Desak Penindakan Tegas Tambang Ilegal di Halmahera Timur: Negara Dianggap Absen, Rakyat Jadi Korban

30
Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Provinsi Maluku Utara kembali turun ke jalan pada Kamis, (12/6/2025), menggelar aksi protes di depan Kantor Kejaksaan Tinggi dan Polda Maluku Utara

TERNATE, Corongpublik.com-Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Provinsi Maluku Utara kembali turun ke jalan pada Kamis, (12/6/2025), menggelar aksi protes di depan Kantor Kejaksaan Tinggi dan Polda Maluku Utara. Mereka mendesak penindakan cepat terhadap dua perusahaan tambang yang dituding sebagai pelaku utama perusakan lingkungan di Kecamatan Wasile, Halmahera Timur. Dalam seruannya, GPM juga meminta Kejaksaan Agung turun tangan mengambil alih penanganan kasus, yang mereka nilai mandek di tingkat daerah.

Massa aksi membawa spanduk hitam yang mencolok, menuntut investigasi terhadap PT Alam Raya Abadi (ARA) dan PT Jaya Abadi Semesta (JAS) dua perusahaan yang dituding bertanggung jawab atas hancurnya lebih dari 30 hektare sawah produktif milik warga serta tercemarnya aliran irigasi, sumber utama air bersih dan pengairan pertanian masyarakat. GPM menyebut perubahan warna air sungai menjadi kecokelatan sebagai bukti visual dari aktivitas tambang ilegal yang mencemari sistem perairan warga.

Ketua DPD GPM Maluku Utara, Sartono Halek, menyebut kasus ini tidak bisa lagi dipandang sebagai sekadar pelanggaran administratif. Dalam orasinya, Sartono menegaskan bahwa persoalan ini telah menjelma menjadi kejahatan lingkungan yang bersifat sistemik, melibatkan dugaan kolusi antara korporasi dan elit birokrasi daerah.

“Yang kita hadapi adalah bentuk nyata dari pembiaran negara terhadap praktik tambang ilegal. Ini bukan sekadar soal izin ini bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Negara memilih bungkam, sementara masyarakat terus menanggung kerugian,” tegas Sartono di hadapan aparat.

GPM juga menyingkap dugaan keterlibatan Bupati dan Sekretaris Daerah Halmahera Timur dalam praktik distribusi ilegal 90 ribu metrik ton ore nikel ke pasar gelap. Kedua pejabat ini disebut sebagai aktor kunci dalam rantai distribusi nikel ilegal tersebut.

Dalam orasi lainnya, aktivis GPM, Andi J. Latif, menyerukan aparat penegak hukum untuk menghentikan ketimpangan hukum yang terus dibiarkan. Ia menyoroti PT Wana Kencana Mineral (WKM) yang diduga menjual ore nikel senilai Rp30 miliar secara ilegal, meski nikel tersebut seharusnya milik PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT) yang telah kehilangan izin operasionalnya.

Tak hanya itu, GPM juga membongkar sejumlah pelanggaran lain yang mereka sebut sebagai bagian dari jaringan korupsi sumber daya alam. PT Amin, misalnya, diduga membuang limbah pencucian alat berat langsung ke sungai tanpa pengolahan. Sementara PT Forward Matrics Indonesia (FMI) diduga beroperasi tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan tanpa dokumen AMDAL, bahkan disinyalir menyuap pejabat daerah.

Atas berbagai pelanggaran ini, GPM menuntut Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera turun tangan. Mereka juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mengaudit lingkungan secara menyeluruh di wilayah tambang Halmahera Timur sebelum kerusakan yang lebih besar tak lagi bisa diperbaiki.