GPM Malut Bongkar Skandal Tambang dan Proyek Siluman

72

TERNATE,Corongpublik.com-Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Maluku Utara kembali turun ke jalan. Bukan sekadar aksi seremonial, melainkan ledakan protes terhadap negara yang dianggap terlalu tunduk pada korporasi tambang dan abai terhadap kerusakan lingkungan serta dugaan korupsi berjamaah.

Di bawah komando Sartono Halek, Ketua DPD GPM Malut, massa aksi mendatangi Kejaksaan Tinggi Maluku Utara pada Senin, (2/6/2025), Mereka membawa spanduk bertuliskan tuntutan keras seperti periksa Kadis PUPR Sula, periksa Bupati dan Sekda Halmahera Timur, cabut IUP tambang, dan panggil direktur perusahaan-perusahaan tambang yang diduga jadi biang pencemaran lingkungan.

Aksi ini bukan tanpa dasar. Sartono menyebut negara sedang mengalami “kelumpuhan moral” dalam membela rakyat dari kejahatan lingkungan. Dalam orasinya di depan Mapolda Malut, ia mengecam keras minimnya keberpihakan aparat penegak hukum dan Kementerian ESDM terhadap hak-hak dasar warga atas lingkungan hidup yang sehat. “Negara tak boleh jadi kaki tangan investasi kotor,” tegasnya.

GPM Malut mengungkap dua nama perusahaan yang menurut mereka menjadi dalang utama kerusakan lingkungan di Wasile, Halmahera Timur: PT Alam Raya Abadi (ARA) dan PT Jaya Abadi Semesta (JAS). Aktivitas tambang mereka dituding telah mencemari lahan pertanian 30 hektare dan merusak aliran sungai vital bagi kehidupan warga. Tapi negara, seperti biasa, diam membisu.

Tak hanya itu, PT Amin juga menjadi sasaran kecaman karena mencuci alat berat langsung di sungai tanpa pengolahan limbah. “Ini bukan sekadar kelalaian, ini kejahatan lingkungan yang dibiarkan,” ujar Sartono.

Gubernur Maluku Utara pun tak luput dari sorotan. GPM menilai, sang gubernur bersikap pasif dalam menghadapi krisis lingkungan dan korupsi tambang. Mereka mendesak gubernur segera memberikan rekomendasi evaluasi ke Kementerian ESDM dan KLHK untuk menghentikan operasi perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan di Halmahera Timur.

Namun di balik isu lingkungan, GPM juga membongkar skandal lain yang tak kalah serius proyek normalisasi sungai yang diduga fiktif.

Menurut hasil investigasi mereka, terdapat 36 paket proyek bernilai total lebih dari Rp7 miliar dari tahun anggaran 2023 hingga 2025. Dari sembilan proyek pada 2023 (senilai Rp1,6 miliar), 20 proyek di 2024 (Rp4 miliar), hingga tujuh proyek tahun 2025 (Rp1,3 miliar), GPM menuding bahwa hingga 80 persen pekerjaan itu fiktif.

Biaya sewa tongkang ke lokasi proyek di Pulau Mangoli yang mencapai Rp100 juta per trayek justru tak sepadan dengan nilai kontrak proyek yang hanya berkisar Rp150-200 juta. “Logikanya, tidak masuk akal. Pekerjaannya tidak pernah ada,” terang Sartono.

Nama Kepala Dinas PUPR Kepulauan Sula, Jaunidin Umaternate, mencuat sebagai tokoh sentral dalam dugaan korupsi ini. Ia disebut meminjam nama perusahaan rekanan hanya demi pencairan dana. Proyek kemudian dikerjakan sendiri oleh Jaunidin, dibantu adiknya Sabarun Umaternate dan seorang staf honorer bernama Melly.

Tak berhenti di situ, Sekda Kepulauan Sula, Muhlis Soamole, juga disebut turut menikmati aliran dana haram dari proyek fiktif tersebut.

GPM mendesak Polda Maluku Utara dan Kejati untuk segera menyelidiki:

  1. Jaunidin Umaternate ( Kadis PUPR dan PPK)
  2. Sabarun Umaternate (Adik Kadis)
  3. Melly ( Staf honorer)
  4. Muhlis Soamole ( Sekretaris Daerah)

GPM juga menyeret sederet nama perusahaan yang diduga hanya dipinjam untuk kepentingan pencairan anggaran:C

  • ahaya Alvira
  • Awdi Pratama
  • Ainur
  • Thita Mulia
  • Bintang Barat Perkasa
  • Permata Membangun
  • Permata Hijau
  • Permata Bersama
  • Nuril Jaya

Dalam pernyataannya, Sartono mendesak Kejati untuk segera meminta dokumen kontrak proyek serta melakukan verifikasi langsung ke lapangan, termasuk mengambil kesaksian dari warga desa terdampak.

Negara, sekali lagi, diuji: Apakah akan memilih berpihak pada rakyat atau tetap tunduk pada kuasa modal?

(Jurnalis: Andi/Red)