GPM Tuding Inspektur Tambang Malut Bungkam Hadapi Dua Raksasa Tambang

46
Kepala Inspektur Tambang Malut (Foto/Istimewah)

TERNATE, Corongpublik// Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Maluku Utara menuding Inspektur Tambang dan Badan Pengendali Lingkungan Hidup (Bapedal) terkesan takut mengambil tindakan terhadap dua perusahaan tambang besar di Maluku Utara, yakni PT Karya Wijaya dan PT Anugrah Sukses Mining (ASM). Desakan agar kedua instansi itu menjatuhkan sanksi hukum kembali digaungkan DPD GPM Malut pada Senin, (6/10/2025) di Warkop Daengsija, Ternate.

Ketua DPD GPM Malut, Sartono Halek, menegaskan pemerintah daerah bersama Inspektur Tambang harus segera menghentikan aktivitas PT Karya Wijaya di Pulau Gebe, Halmahera Tengah. Perusahaan tersebut, kata dia, awalnya memiliki konsesi 500 hektare, namun diperluas menjadi 1.145 hektare pada 2025 dan akan berlaku hingga 2036.

Menurut Sartono, perluasan izin itu disertai berbagai pelanggaran serius. PT Karya Wijaya diduga tidak memiliki dokumen izin lengkap serta belum memenuhi kewajiban tata batas area kerja yang seharusnya dilaporkan ke Kementerian ESDM. Bahkan, perusahaan tersebut dituding menambang di luar wilayah izin usaha pertambangan (IUP).

Ia mengungkapkan, persoalan ini kini tengah disorot oleh Satgas PHK karena terjadi tumpang tindih izin dengan PT Fajar Bakti Lintas Nusantara (FBLN). “Situasi ini memperkeruh legalitas operasi tambang PT Karya Wijaya yang sejak awal sudah bermasalah,” ujar Sartono.

Lebih lanjut, Sartono menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah terhadap praktik tambang di Maluku Utara. Menurutnya, pelayanan publik semestinya menjadi amanat konstitusi, tetapi yang terjadi justru penyimpangan dan pembiaran terhadap perusahaan besar.

“Sayangnya, sektor tambang menjadi contoh nyata penyimpangan kebijakan publik yang mencederai keadilan lingkungan,”tegasnya.

GPM juga mengingatkan bahwa pejabat Kementerian Kehutanan dalam kunjungan kerja bersama Komisi IV DPR RI ke Maluku Utara pernah menyoroti hal serupa. Dalam forum tersebut, pemerintah pusat menegaskan pentingnya kepatuhan perusahaan terhadap aturan perizinan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Selain itu, GPM menilai PT Karya Wijaya telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007, yang melarang aktivitas pertambangan di pulau kecil. Ketentuan itu diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menegaskan perlindungan terhadap pulau kecil dari kerusakan permanen akibat tambang.

Perusahaan yang disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan Gubernur Maluku Utara, Sherly Djuanda, ini juga menjadi sorotan nasional lantaran belum menyetor dana reklamasi pasca tambang.

“Ini bukti lemahnya penegakan hukum dan dugaan konflik kepentingan di tingkat daerah,”tambah Sartono.

Tak hanya PT Karya Wijaya, GPM Malut juga menyoroti PT Anugrah Sukses Mining (ASM) yang beroperasi di wilayah yang sama. ASM dituding melakukan eksplorasi nikel tanpa izin lengkap serta tidak terdaftar dalam sistem Mineral One Data Indonesia (MODI), yang jelas melanggar UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan PP Nomor 96 Tahun 2021.

Perusahaan tersebut juga diduga belum melaksanakan kewajiban tata batas area kerja dan belum menyetorkan dana reklamasi pasca tambang. Karena itu, GPM mendesak Kementerian ESDM agar segera mencabut IUP ASM demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.

“Bapedal dan Inspektur Tambang jangan berdiam diri lagi. Kami mendesak keduanya untuk merekomendasikan sanksi hukum tegas terhadap PT Karya Wijaya dan PT ASM,”tegas Sartono.

Lebih jauh, Sartono menjelaskan, sesuai Permen PAN Nomor 36 Tahun 2017 Pasal 5, Inspektur Tambang memiliki tugas dan wewenang penting dalam mengelola lingkungan tambang. Mereka wajib memantau dampak lingkungan, mengawasi reklamasi lahan bekas tambang, serta memastikan pelaksanaan pascatambang agar tidak menimbulkan kerusakan lanjutan. Inspektur juga berwenang menghentikan sementara atau permanen kegiatan tambang bila ditemukan pelanggaran berat.

“Jika Inspektur Tambang memahami peran itu, maka mereka seharusnya bertindak. Diam berarti berpihak pada pelanggaran,” pungkas Sartono.(Tim/Red)