Jakarta – Indonesia kembali mendapat sorotan sebagai negara dengan regulasi ekspor-impor paling rumit, menurut International Trade Barriers.
Hal ini memicu diskusi luas di kalangan pelaku usaha.
Keluhan pelaku bisnis memperkuat persepsi ini.
@SammiSoh mengungkapkan bahwa 90% pelaku usaha sulit mengekspor karena persyaratan seperti NPWP, pembentukan PT/CV, dan berbagai izin yang rumit.
@andricuanterus menyoroti proses izin impor yang lambat, aturan konten lokal, dan regulasi yang sering berubah, membuat produk asing sulit masuk dan mahal.
Laporan resmi menunjukkan sisi lain.
UN Global Survey 2023 mencatat skor fasilitasi perdagangan Indonesia di 87,1%, dengan transparansi 93,33% dan formalitas 95,83%, menunjukkan bahwa regulasi tidak seburuk yang diklaim.
Kementerian Perdagangan juga melaporkan surplus perdagangan 2024 sebesar USD 31,04 miliar, dengan ekspor USD 264,70 miliar, naik 2,29% dari 2023, mengindikasikan perdagangan tetap berjalan.
Namun, laporan United States Trade Representative (USTR) 2025 menyebut hambatan seperti tarif tinggi (rata-rata 8%), perizinan impor yang rumit, dan standar teknis ketat sebagai tantangan nyata.
Pemerintah diharapkan menyederhanakan regulasi agar UMKM lebih kompetitif di pasar global.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia perlu meninggalkan regulasi yang rumit jika ingin menjadi negara berpenghasilan tinggi atau negara maju. Saat ini pemerintah masih terus berupaya untuk menyederhanakan regulasi yang ada.
Maka untuk mendapatkan status negara berpenghasilan tinggi atau high income country, maka Indonesia harus lepas dari perangkap negara berpendapatan menengah atau middle income trap.
“Karena untuk bisa mencapai high income country, maka Indonesia harus bisa menghindari dari middle income trap,” kata Sri Mulyani dalam Rakornas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah, di Jakarta.
Sri Mulyani menjelaskan, biasanya middle income trap muncul dalam bentuk regulasi dan kebijakan yang rumit di suatu perekonomian. Untuk itu, dia menyarankan agar Indonesia meninggalkan penerapan regulasi yang rumit.
“Regulasi dan policy yang membuat rumit di suatu perekonomian, maka makin membebankan kepada masyarakat,” ujar Sri Mulyani.