LOLODA, Corongpublik// Keterbelakangan infrastruktur dasar di wilayah Loloda kembali menelan korban jiwa. Jalan berlumpur, tidak adanya jembatan penghubung, serta minimnya fasilitas kesehatan membuat warga hidup dalam ancaman. Kondisi memprihatinkan ini memicu keluhan masyarakat sekaligus kritik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Desakan untuk segera bertindak datang dari Forum Mahasiswa Pascasarjana Maluku Utara (Formapas Malut).
Sekretaris Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Formapas Malut, Dryon Taluke, menegaskan bahwa kematian seorang warga Loloda Utara saat dirujuk ke RS Tobelo menjadi bukti nyata buruknya infrastruktur. Korban disebut harus menunggu berjam-jam akibat jalan rusak, licin, dan sungai yang meluap sehingga menghambat proses evakuasi.

“Peristiwa ini membuktikan Loloda masih sangat tertinggal. Ini bukan lagi keluhan, tetapi persoalan pemenuhan kebutuhan dasar yang terus diabaikan pemerintah,” tegas Dryon.
Ia menjelaskan, warga Loloda kerap harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan demi mencapai layanan kesehatan. Tanpa jembatan penghubung, akses transportasi semakin terhambat dan membahayakan baik warga maupun tenaga medis.

Dalam pandangannya, ketimpangan pembangunan antara wilayah pusat dan daerah pinggiran seperti Loloda terus melebar. Dryon menilai pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak boleh membiarkan keterbelakangan ini berlarut-larut hingga mengorbankan nyawa warga.
Data BPS Halmahera Utara mengungkapkan kesenjangan fasilitas kesehatan di wilayah tersebut. Di Loloda Utara hanya terdapat 3 puskesmas dan 8 puskesmas pembantu, sementara Loloda Kepulauan memiliki 1 puskesmas dan 3 puskesmas pembantu. Tenaga kesehatan juga sangat terbatas: hanya 4 dokter, 49 bidan, dan 21 perawat yang melayani lebih dari 18 ribu jiwa.
Melihat kondisi tersebut, Formapas Malut mendesak pemerintah mengambil tindakan nyata dengan membangun dan memperbaiki jalan, jembatan, serta meningkatkan sarana dan tenaga kesehatan di wilayah-wilayah terpencil.
Dryon juga menyinggung Gubernur Maluku Utara Sherly Juanda Laos, yang menurutnya memiliki kewenangan strategis dalam menentukan arah pembangunan. Ia menilai proyek Jalan Trans Kieraha yang menghubungkan Halteng, Tidore, dan Haltim masih sekadar wacana karena belum jelas Amdal, anggaran, serta rawan menimbulkan konflik akibat melewati lahan warga dan kawasan hutan lindung.
Ia menyarankan agar anggaran yang ada dialihkan untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur dasar di wilayah-wilayah yang selama bertahun-tahun mengeluhkan sulitnya akses jalan, fasilitas kesehatan, hingga pendidikan.
“Masyarakat Loloda berhak atas rasa aman dan akses layanan publik yang layak. Infrastruktur adalah syarat mendasar menuju kesejahteraan. Pemerintah harus segera hadir dan bertindak, bukan nanti,” tutup Dryon.
—TIM/RED—




