Izin Tambang 1.145 Ha di Malut Terbit Kilat, Perusahaan Diduga Terafiliasi Gubernur

28

TERNATE, Corongpublik// Penerbitan izin tambang nikel seluas 1.145 hektare di kawasan strategis Fritu, Halmahera Tengah, oleh Kementerian ESDM menuai sorotan tajam. Pasalnya, izin yang diberikan kepada PT Karya Wijaya itu disebut terbit dengan kecepatan tak lazim dan dikaitkan dengan dugaan keterlibatan lingkaran Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda.

Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi tersebut ditetapkan melalui SK Menteri ESDM No. 04/1/IUP/PMDN/2025 dengan masa berlaku 17 Januari 2025 hingga 15 Maret 2036. Perusahaan ini bahkan langsung mengantongi status Clean and Clear (C&C) sebuah proses yang biasanya memerlukan verifikasi panjang.

Namun legitimasi hukum itu justru memantik tanda tanya baru. Selain menguasai lahan di Fritu, PT Karya Wijaya tercatat mengendalikan sekitar 500 hektare tambang di Pulau Gebe, Halmahera Timur. Penguasaan dua titik strategis nikel ini mempertebal dugaan adanya pemain besar di balik perusahaan tersebut.

Ketua Pemuda Solidaritas Merah Putih (PSMP) Maluku Utara, Mudasir Ishak, menilai persoalan ini bukan lagi isu biasa, melainkan mengarah pada pelanggaran etika jabatan.

“Ini bentuk nyata konflik kepentingan!, Seorang gubernur yang wajib menjaga kedaulatan sumber daya alam justru diduga ikut bermain di dalamnya,”tegas Mudasir.

Ia menyebut dugaan tersebut bertentangan dengan Pasal 17 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang melarang pejabat publik mengambil keputusan yang bersinggungan dengan kepentingan pribadi.

“Jika benar keterlibatan itu ada, maka Gubernur Sherly Tjoanda telah menempatkan dirinya dalam posisi berseberangan dengan hukum,” lanjutnya.

Selain dugaan konflik kepentingan, kecepatan proses penerbitan izin yang dinilai tak wajar juga menjadi sorotan. Menurut Mudasir, proses birokrasi yang biasanya panjang tiba-tiba seolah membuka jalan khusus bagi PT Karya Wijaya.

“Izin ini lahir dengan cara mencurigakan. Seolah ada jalur istimewa dari meja menteri ke lapangan tambang. Di mana transparansinya? Di mana keadilan bagi pelaku usaha lain?” kritiknya.

Ia bahkan menyebut kasus ini sebagai potret telanjang praktik KKN korupsi, kolusi, dan nepotisme yang masih mengakar dalam sistem perizinan sumber daya alam.

Fritu dikenal sebagai salah satu pusat industri nikel terpenting di Maluku Utara, dikelilingi raksasa seperti Weda Bay Nickel (WBN). Kehadiran PT Karya Wijaya yang masuk begitu mulus kian memunculkan dugaan adanya anak emas baru dalam peta industri tambang nasional.

Meski investasi tambang kerap digadang-gadang sebagai pendorong ekonomi, kasus ini dipandang menjadi ujian besar bagi komitmen pemerintah daerah terhadap prinsip good governance.

“Pertanyaannya sederhana, pakah pembangunan ekonomi harus dibayar dengan mengorbankan integritas pemerintahan, sementara pejabat publik justru bermain dalam bisnis yang mereka awasi?”

—Tim/Red—