TERNATE, Corongpublik// Pemerintahan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, kembali menuai sorotan setelah mencuat dugaan keterlibatan jaringan buzzer yang masif dalam mengawal citra sang gubernur di media sosial. Sejumlah akun anonim di TikTok dan Facebook terlihat aktif membela kebijakan pemerintah provinsi sekaligus menyerang pihak yang mengkritik.
Ketua DPD PSMP Maluku Utara, Mudasir Ishak, menyebut pola serangan seragam dari akun-akun tak dikenal itu mengindikasikan adanya orkestrasi komunikasi terstruktur. “Setiap kali ada kritik, selalu muncul akun-akun yang menyerang balik dengan narasi yang sama. Ini menunjukkan ada orkestrasi,” ujarnya di Warkop Sija, Rabu (5/11/2025).
Mudasir menilai keberadaan buzzer justru memperburuk iklim demokrasi digital di daerah. Ia mengingatkan agar pemerintah fokus pada kinerja nyata daripada membangun citra melalui operasi opini.
“Di atas kertas tertulis publikasi pembangunan daerah, tapi dalam praktiknya sering berubah jadi kampanye citra pejabat. Di situlah buzzer digital berperan,” tegasnya.
Fenomena buzzer politik ini, lanjutnya, menggeser fungsi media sosial dari ruang dialog menjadi arena propaganda. Kritik publik kerap dibalas serangan pribadi alih-alih klarifikasi kebijakan.
“Ini membuat warga takut bicara,” kata Mudasir, menyebut praktik tersebut sebagai bentuk pembajakan ruang publik.
Keluhan serupa datang dari jurnalis lokal yang mengaku menjadi sasaran serangan daring setelah mempublikasikan laporan kritis. Komentar sarkastik, tudingan hingga cemoohan kerap muncul di kolom komentar. “Kadang bukan pejabat yang marah, tapi buzzer-nya yang lebih galak,” ujar seorang redaktur media di Ternate dengan nada getir.
Di tengah tekanan tersebut, sebagian warga mulai membentuk gerakan tandingan melalui akun edukatif yang mempromosikan literasi digital dan mengajak publik membedakan kritik kebijakan dari serangan personal.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pertarungan politik di Maluku Utara tidak lagi hanya terjadi di ruang birokrasi atau konstelasi partai, tetapi juga di medan digital yang dikendalikan secara presisi. Batas antara komunikasi pemerintah dan propaganda semakin kabur, sementara ruang demokrasi publik makin tergerus oleh narasi yang dibangun secara sistematis.
—Tim/Red—




