Jetty PT STS di Haltim Diduga Ilegal, Maria Chandra Pical Diminta Bertanggung Jawab

13
Foto/Istimewah

HALTIM, Corongpublik// Pembangunan Terminal Khusus (Tersus) atau jetty oleh PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Dusun Memeli, Desa Pekaulang, Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, menuai kritikan tajam dari masyarakat. Proyek ini dituding ilegal karena diduga melanggar ketentuan pemanfaatan ruang laut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.

Warga menilai proyek tersebut berpotensi merusak ekosistem laut yang menjadi ruang hidup nelayan. Mereka menuntut agar PT STS dimintai pertanggungjawaban penuh atas pembangunan yang dinilai mengabaikan aspek lingkungan.

Selain perusahaan, salah satu figur yang turut disorot adalah Maria Chandra Pical. Namanya disebut memiliki tanggung jawab moral dan hukum atas penetapan lokasi jetty di Dusun Memeli, mengingat pada saat itu ia masih tercatat sebagai pemegang saham di PT STS.

“Penetapan lokasi jetty di wilayah Dusun Memeli adalah tanggung jawab Maria Chandra Pical, karena saat itu beliau masih bagian dari pengendali PT STS,” kata Rusmin Hasan, warga Haltim sekaligus aktivis Pemuda Muhammadiyah, dalam rilisnya kepada wartawan, Selasa (30/9/2025).

Rusmin menambahkan, meski saat ini mayoritas saham PT STS telah beralih kepemilikannya ke perusahaan asal Singapura, Esteel Enterprise PTE Ltd dengan porsi 70 persen, keterlibatan Maria tetap signifikan. Hal itu melalui PT Bahtera Mineral Nusantara (BMN) yang masih menguasai 30 persen saham.

Lebih jauh, berdasarkan dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, Maria Chandra tercatat sebagai Direktur Utama PT BMN. Fakta ini semakin menguatkan dugaan bahwa ia masih berperan aktif dalam arah kebijakan perusahaan.

“Karena itu, mereka harus bertanggung jawab. Jetty ini jelas-jelas merusak ekosistem laut yang menjadi ruang hidup nelayan. Kami minta agar pembangunan ini dievaluasi total,”tegas Rusmin.

Ia juga menekankan perlunya langkah cepat dari pemerintah daerah maupun kementerian terkait. Menurutnya, izin pembangunan jetty harus ditinjau ulang, termasuk dampaknya terhadap lingkungan pesisir dan mata pencaharian masyarakat setempat.

Rusmin menyebut pembangunan jetty tersebut tidak sejalan dengan Pasal 18 UU 6/2023, yang merupakan perubahan atas Pasal 16 UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Aturan itu menegaskan perlunya menjaga keberlanjutan ruang laut demi melindungi ekosistem sekaligus kehidupan masyarakat pesisir.

Masyarakat juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah dalam pemberian izin pemanfaatan ruang laut. Hal ini dianggap memberi celah bagi perusahaan untuk bertindak sewenang-wenang tanpa memperhatikan aturan dan kepentingan masyarakat lokal.

“Kalau pembangunan jetty ini terus dibiarkan, nelayan kecil akan jadi korban pertama. Hasil tangkapan berkurang, ekosistem pesisir rusak, dan mata pencaharian terancam hilang,” kata Rusmin menambahkan.

Penolakan warga sendiri bukan hal baru. Pada 4 Juni 2025 lalu, masyarakat Dusun Memeli, Desa Pekaulang, sudah lebih dulu menggelar aksi protes di lokasi proyek jetty PT STS. Mereka menuntut penghentian pembangunan karena dinilai tidak ramah lingkungan.

Meski demikian, hingga saat ini proyek jetty masih terus berjalan. Kondisi ini memicu kekecewaan masyarakat yang menilai suara mereka diabaikan oleh perusahaan maupun pemerintah.

Warga berharap pemerintah pusat maupun daerah segera mengambil sikap tegas. Jika tidak, konflik sosial di wilayah pesisir dikhawatirkan semakin meluas akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap keberadaan proyek tambang nikel dan fasilitas pendukungnya. (Tim/Red)