
SULA, Corongpublik.com- Kantor Desa Wailia di Kecamatan Sulabesi Timur, Kabupaten Kepulauan Sula, dipalang warga pada Sabtu, 7 Juni 2025. Tindakan itu sebagai bentuk protes terhadap Pemerintah Desa (Pemdes) Wailia, yang dinilai mengabaikan somasi terkait dugaan sengketa lahan pembangunan kantor desa.
Kuasa hukum Wahdanur Ipa, Bustamin Sanaba, SH., MH., menyebutkan bahwa kliennya adalah pemilik sah lahan di RT 03 RW 02 Desa Wailia yang kini telah berdiri bangunan kantor desa. Dalam somasi bernomor 06/Pid-S/BSdanP/V2025 tertanggal 14 April 2025, ia menegaskan bahwa pembangunan tersebut dilakukan tanpa izin, bahkan diduga adanya unsur penipuan.
“Awalnya, lahan itu diberikan secara cuma-cuma demi kepentingan masyarakat. Namun setelah kami telusuri, ternyata tanah itu dijual oleh pihak lain seharga Rp60 juta,” kata Bustamin, merujuk pada dokumen jual beli tertanggal 20 Oktober 2017.
Menurutnya, proses penjualan dilakukan oleh Juwardi Norau sebagai penjual dan Mustriydi Gay sebagai pembeli. “Padahal klien kami tidak pernah memberi kuasa kepada siapa pun untuk menjual tanah tersebut, termasuk kepada pihak desa,” tegas Bustamin.

Keluarga pemilik lahan, Arafit Ipa, menyatakan bahwa pemalangan kantor desa dilakukan karena somasi yang telah dilayangkan beberapa kali tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah desa. Terakhir, pada 3 Juni 2025, pihak keluarga menemui aparatur desa dan meminta surat pernyataan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, permintaan itu tak kunjung dipenuhi dengan alasan kepala desa sedang berada di luar daerah.
“Kami beri waktu, tapi tidak ada respons. Maka langkah pemalangan terpaksa kami ambil,” ujar Arafit. Ia menambahkan, somasi ketiga bahkan memuat ultimatum bahwa jika dalam tujuh hari tidak ada itikad baik dari pemdes, maka mereka akan memboikot lahan, termasuk memblokir akses ke kantor desa.
Arafit menduga ada keterlibatan oknum perangkat desa dalam transaksi lahan yang menurutnya cacat hukum. Ia juga membantah klaim hak waris dari pihak Juwardi Norau atas lahan tersebut. “Secara silsilah, mereka bukan ahli waris. Tanah itu milik keluarga kami dari garis keturunan ayah,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa jika masalah ini tidak kunjung diselesaikan, pihak keluarga akan membangun sarang walet di depan kantor desa sebagai bentuk pengambilalihan lahan. “Kalau itu terjadi, kantor desa tidak akan bisa dibuka lagi,” kata Arafit.
Diketahui, transaksi jual beli tanah yang kini dipersoalkan terjadi pada masa pemerintahan kepala desa sebelumnya, pada 20 Oktober 2017.