HALTENG, corongpublik// Rencana investasi pengolahan batu gamping menjadi klinker oleh PT Gamping Mining Indonesia di kawasan karst Sagea-Kiya, Halmahera Tengah, menuai gelombang penolakan dari berbagai kalangan, terutama dari kelompok masyarakat sipil dan aktivis lingkungan. Sorotan tajam muncul setelah dokumen pertemuan sejumlah pejabat daerah dan anggota DPRD Halmahera Tengah yang membahas rencana pemberian izin kepada perusahaan tersebut bocor ke publik.
Salah satu penolakan paling keras datang dari Riswan Sanun, Ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana (FORMAPAS) Maluku Utara Jabodetabek-Banten. Ia menegaskan bahwa tambang tersebut bukan hanya ancaman ekologis, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap masa depan masyarakat lokal.
“Lahan yang dimohon perusahaan itu tidak dapat diberi izin dalam bentuk apa pun,” tegas Riswan saat diwawancarai pada Kamis, 14 Agustus 2025.
Pernyataan itu bukan tanpa dasar. Riswan merujuk pada sejumlah regulasi yang secara eksplisit melindungi kawasan karst, di antaranya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 554 Tahun 2025, yang memberikan perlindungan khusus terhadap kawasan karst sebagai wilayah lindung geologi.
Peraturan Daerah Provinsi Maluku Utara Nomor 3 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2024-2043, yang secara tegas melalui Pasal 58 ayat (3) menetapkan kawasan karst sebagai wilayah konservasi yang berfungsi sebagai pengatur tata air alami dan sistem imbuhan akuifer bawah tanah.
Bagi FORMAPAS, kawasan karst Sagea-Kiya bukan hanya lanskap geologi biasa. Ia adalah jantung kehidupan masyarakat lokal. Lereng-lereng kapurnya memancarkan mata air yang menjadi satu-satunya sumber air bersih bagi desa-desa di Kecamatan Weda Utara. Ekosistem karst ini juga menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna endemik Maluku Utara yang tidak ditemukan di tempat lain.
Riswan mengingatkan, bahwa eksploitasi kawasan karst bukan sekadar menciptakan lubang tambang, tapi membuka pintu menuju kerusakan ekologis permanen, gangguan terhadap sistem hidrologi, menurunnya debit air tanah, hilangnya vegetasi penutup, percepatan erosi, hingga potensi bencana kekeringan dan banjir.
“Sudah cukup. Kehadiran PT IWIP dan tambang-tambang lain telah memperlihatkan dampak nyata hutan rusak, sungai tercemar, laut kotor, dan banjir yang memakan korban jiwa. Jangan tambah luka ini dengan tambang baru,” ujarnya.
Menurutnya, pejabat daerah terlalu sering melihat investasi hanya dalam bingkai statistik pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan dampak sosial-ekologis yang dialami langsung oleh masyarakat. Ia mempertanyakan sejauh mana manfaat keberadaan tambang terhadap pendidikan, kesehatan, budaya lokal, lembaga keagamaan, serta masyarakat adat secara menyeluruh.
“Berapa persen sih kontribusi perusahaan bagi pendidikan warga? Bagi lembaga keagamaan? Bagi masyarakat adat dan masa depan anak-anak ?”
Sebagai putra asli Halmahera Tengah, Riswan menyatakan bahwa menjaga kawasan karst adalah panggilan moral. Ia bersama FORMAPAS berkomitmen untuk mengawal isu ini sampai ke tingkat nasional, termasuk menyuarakan penolakan di Kementerian ESDM dan lembaga-lembaga negara terkait.
“Saya lahir dan besar di Halmahera Tengah. Saya tahu bagaimana alam memberi makan, memberi minum, dan memberi napas bagi masyarakat. Kalau karst itu rusak, berarti kita menghancurkan sumber kehidupan generasi berikutnya.”
Di tengah meningkatnya tekanan terhadap kawasan karst akibat ekspansi industri ekstraktif, sikap kritis FORMAPAS dan elemen masyarakat sipil lainnya menjadi penting sebagai penyeimbang narasi pertumbuhan ekonomi yang kerap mengabaikan keberlanjutan lingkungan.
Kini bola panas ada di tangan DPRD dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah. Apakah mereka akan berdiri bersama rakyat mempertahankan tanah leluhur, atau tunduk pada tekanan investasi tambang?.
(Tim/Red)*