TERNATE, Corongpublik.com-Dugaan korupsi anggaran Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Bagian Umum dan Perlengkapan Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) tahun anggaran 2016 hingga kini belum menemui kejelasan hukum. Meski penyidik telah menetapkan tiga tersangka dan kerugian negara mencapai miliaran rupiah, kasus ini tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan.
Ketua Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Maluku Utara, Sartono Halek, kepada wartawan pada Kamis, (12/6/2025) menyebut bahwa ada kejanggalan serius dalam proses penanganan perkara oleh aparat penegak hukum.
“Sudah delapan tahun lebih sejak dugaan korupsi ini terjadi, namun sampai sekarang proses hukumnya jalan di tempat. Berkas perkara bolak-balik dari Polres Haltim ke Kejaksaan Negeri tanpa kejelasan. Ini preseden buruk bagi penegakan hukum di Maluku Utara,” tegas Sartono
Dari hasil penyelidikan Polres Haltim, ditemukan penyimpangan anggaran SPPD fiktif yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp1,2 miliar lebih. Penyidik bahkan telah menetapkan tiga orang tersangka, yakni mantan Bendahara Bagian Umum Setda Haltim yang kini menjabat sebagai Bendahara RSUD Haltim (inisial Tono), serta seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan pejabat lainnya.
Namun yang menjadi persoalan, kata Sartono, berkas perkara terus tertahan di meja Kejaksaan Negeri Haltim. Menurut informasi yang dihimpun GPM, jaksa penuntut menolak melimpahkan perkara ke pengadilan dengan alasan petunjuk P-19 belum dipenuhi. Anehnya, salah satu syarat yang diminta kejaksaan adalah agar seorang auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga ditetapkan sebagai tersangka.
“Ini jelas aneh. Bagaimana mungkin auditor yang melakukan pemeriksaan atas nama lembaga diminta dijadikan tersangka? Apakah ada intervensi atau upaya mengaburkan kasus?” kata Sartono dengan nada heran.
Sartono menilai, ada indikasi tarik-menarik kepentingan dan intervensi kekuasaan dalam penanganan perkara ini. Ia bahkan mengungkap adanya dugaan pemerasan yang dilakukan oleh oknum pemeriksa BPK kepada pejabat daerah saat proses audit berlangsung.
“Kalau benar ada pemerasan oleh pemeriksa BPK, maka semestinya diusut juga secara terpisah, bukan justru dijadikan alasan untuk menghambat penuntasan kasus utama,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Malut tahun 2017, tercatat bahwa Inspektorat Haltim sendiri mengakui temuan SPPD fiktif sebesar lebih dari Rp1,2 miliar di Bagian Umum dan Perlengkapan Setda Haltim. Namun hingga kini, tidak ada satu pun pihak yang dimajukan ke meja hijau.
Untuk itu, GPM Maluku Utara menyatakan akan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di Kejati Malut dan Polda Malut dalam waktu dekat. Tuntutan utama mereka adalah percepatan penanganan kasus, transparansi proses hukum, dan pembukaan kembali penyidikan secara menyeluruh termasuk kemungkinan keterlibatan aktor-aktor di luar struktur Setda.