Oleh : Vivin Alwan
Ketua Umum Wanita Indonesia Pemerhati Pariwisata “WIPP”
Indonesia merupakan mozaik keindahan yang tak tertandingi. Dari kekayaan budaya Bali yang memukau hingga pesona laut Raja Ampat yang tiada tara, pariwisata telah lama menjadi salah satu pilar kebanggaan dan ekonomi bangsa. Namun, di balik angka kunjungan dan devisa yang menjanjikan, terdapat bisikan ancaman yang semakin lantang, kerusakan lingkungan dan penggerusan budaya.
Pariwisata massal, yang sering kali diagungkan sebagai solusi pemerataan ekonomi menjadi pedang bermata dua. Destinasi-destinasi ikonik kini menghadapi sindrom over-tourism. Bali, misalnya, menjadi contoh nyata. Infrastruktur yang tak seimbang dengan laju pembangunan, volume sampah yang tak terkelola, hingga tekanan terhadap sumber daya air lokal, semuanya menjadi indikator bahwa ambisi pariwisata kita telah melampaui kapasitas daya dukung lingkungan.
Ancaman ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga kultural. Ketika masyarakat lokal dipaksa mengubah ritual dan tradisi mereka demi jadwal wisatawan atau kamera influencer, kita menyaksikan “Disneylandisasi” budaya pengerdilan kearifan lokal menjadi komoditas semata. Keaslian digantikan oleh atraksi yang dipoles, dan yang tersisa hanyalah cangkang tanpa ruh.
Lalu, di mana tanggung jawab kita?
Pertama, bagi pemerintah dan regulator, saatnya beranjak dari target kuantitas atau “Jumlah Kunjungan” menuju target kualitas serta “Nilai dan Keberlanjutan”. Kebijakan harus berani memprioritaskan konservasi di atas pembangunan infrastruktur instan, menerapkan batasan ketat pada zonasi pariwisata, memastikan pendapatan pariwisata benar-benar kembali untuk memelihara destinasi, bukan hanya sebatas memperkaya segelintir investor.
Kedua, bagi pelaku industri, prinsip greenwashing harus diakhiri. Hotel, resort, dan agen perjalanan harus berinvestasi serius pada pengelolaan limbah, penggunaan energi terbarukan, dan pemberdayaan ekonomi komunitas setempat secara adil, bukan sekadar tempelan kampanye pemasaran.
Ketiga, tanggung jawab pribadi adalah kunci revolusi pariwisata berkelanjutan. Memulai dengan memilih operator yang bertanggung jawab, menghindari atraksi yang mengeksploitasi satwa atau budaya, meminimalisir sampah plastik,yang paling krusial.. berusaha untuk menghorati alam seolah itu adalah rumah kita sendiri, dan hormati masyarakat lokal seolah mereka adalah tamu terhormat di rumah kita.
Sebenarnya kalua ditelisik lebih jauh keindahan Indonesia tidaklah abadi karena rentan dirusak oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Jika kita gagal bertindak sekarang secara tidak langsung kita membiarkan keserakahan pariwisata menguasai akal sehat, maka generasi mendatang mungkin hanya akan membaca tentang pesona Raja Ampat atau kehangatan budaya Toraja dalam buku sejarah sebagai warisan yang gagal kita jaga.
Waktunya telah tiba untuk mengubah narasi. Pariwisata harus menjadi agen pelestarian, bukan penghancur. Masa depan keindahan Indonesia sangat bergantung pada kesadaran dan tanggung jawab kolektif kita hari ini.
Di tengah pusaran pariwisata massal, muncul fenomena baru “Digital Nomad (DN)”. Meskipun digital nomad menjanjikan pemasukan devisa yang stabil dan perpanjangan masa tinggal wisatawan, kehadiran mereka membawa tantangan sosial ekonomi yang signifikan bagi komunitas lokal. Di beberapa wilayah, masuknya DN secara masif telah memicu inflasi biaya sewa properti yang drastis, membuat warga lokal kesulitan mendapatkan tempat tinggal yang terjangkau. Selain itu, mereka seringkali hanya mengkonsumsi layanan yang diciptakan khusus untuk pasar ekspatriat, sehingga transfer kekayaan ke pedagang atau penyedia jasa lokal menjadi minim. Oleh karena itu, kebijakan visa digital nomad harus disertai regulasi ketat yang menjamin win-win solution memastikan DN memberi kontribusi yang nyata, bukan sekadar menumpang dan mendorong penggusuran ekonomi masyarakat setempat.
Ironisnya, ancaman ini dipercepat oleh kemajuan teknologi dan popularitas media sosial. Fenomena pariwisata berbasis “Instagrammable” telah menciptakan tekanan visual yang luar biasa. Destinasi eksotis kini dinilai dari seberapa cepat ia bisa menjadi viral, bukan seberapa lestari. Media sosial mendorong herd mentality, di mana ribuan orang berbondong-bondong menyerbu satu lokasi tersembunyi hanya untuk mendapatkan foto yang persis sama. Akibatnya, ekosistem rapuh seperti padang savana, gua, atau pantai perawan cepat sekali mengalami degradasi karena injakan kaki massal yang tidak terkontrol. Teknologi, yang seharusnya menjadi alat edukasi dan manajemen konservasi, justru beralih fungsi menjadi mesin pendorong over-tourism yang tak bertanggung jawab.
Kita harus mendesak implementasi manajemen pariwisata berbasis Big Data. Pemerintah dan industri harus menggunakan Artificial Intelligence (AI) untuk memprediksi kepadatan turis, mengalihkan arus kunjungan, atau bahkan memberlakukan sistem reservasi yang membatasi jumlah pengunjung harian (carrying capacity) secara real-time. Teknologi harus menjadi solusi utama, bukan hanya penyebab masalah baru.
Saat ini keindahan Indonesia berada di titik persimpangan kritis. Kita tidak bisa lagi memisahkan pariwisata dari isu lingkungan, sosial, dan teknologi. Kegagalan mengelola over-tourism, membiarkan media sosial merusak keaslian, atau abai terhadap dampak inflasi yang dibawa oleh digital nomad, dengan menyerahkan warisan alam dan budaya kita kepada kehancuran.
Tanggung jawab ini bersifat mutlak, dari regulator yang harus berani membatasi pertumbuhan, industri yang wajib menghentikan greenwashing, hingga wisatawan yang harus bersedia membayar harga sejati dari sebuah perjalanan yang berkelanjutan.
Mari jadikan pariwisata sebagai sebuah kontrak sosial yang mengikat kita semua untuk menjaga janji keindahan ini. Hanya dengan kesadaran dan tindakan kolektif hari inilah, kita bisa memastikan bahwa pesona Indonesia akan tetap memukau hari ini dan selamanya, bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi-generasi kita yang akan datang.




