TERNATE, Corongpublik.com-Polemik pembelian eks Rumah Dinas Gubernur Maluku Utara di Kelurahan Kalumpang kembali mencuat. Koalisi antikorupsi yang tergabung dalam Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) Maluku Utara mendesak Kejaksaan Tinggi Maluku Utara untuk membuka kembali kasus yang diduga kuat mengandung unsur tindak pidana korupsi. Pasalnya, aset yang sejatinya milik Pemerintah Provinsi Maluku Utara itu dibeli oleh Pemerintah Kota Ternate dengan dana APBD senilai Rp2,8 miliar, meski status kepemilikannya telah ditetapkan secara hukum.
“Ini tindakan melawan hukum,” ujar Yuslan Gani, orator aksi sekaligus Sekretaris DPD Gerakan Pemuda Marhaen Maluku Utara, saat unjuk rasa, Rabu, 11 Juni 2025. Ia menyebut pembelian lahan tersebut melibatkan Rizal Marsaoly, yang saat itu menjabat Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kota Ternate, dan kini menjadi Kepala Bappeda Kota Ternate.
Riwayat sengketa lahan ini telah melalui proses panjang di meja hijau. Pada 2012, Noke Yapen menggugat Pemerintah Provinsi Maluku Utara atas klaim kepemilikan tanah. Namun, Pengadilan Negeri Ternate menolak gugatan itu dan menetapkan Pemprov sebagai pemilik sah.
Tak puas, Noke mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Maluku Utara, namun putusan tingkat pertama justru dikuatkan. Putusan PN Ternate Nomor 10/Pdt.G/2011/PN/Tte tertanggal 26 April 2012 dinyatakan sah. Bahkan, upaya kasasi ke Mahkamah Agung kembali ditolak. Putusan MA Nomor 191 K/Pdt/2013 menegaskan bahwa lahan dan bangunan eks rumah dinas gubernur adalah milik pemerintah daerah, bukan pribadi Noke Yapen.
Namun anehnya, Pemkot Ternate tetap membayar lahan tersebut melalui Dinas Perkim. Padahal, dasar hukum atas klaim kepemilikan Noke sudah gugur. Ia berdalih memiliki sertifikat atas nama dirinya bernomor 227 Tahun 1972. “Ini alasan yang tidak berdasar. Putusan Mahkamah Agung telah final. Tidak ada ruang interpretasi lain,” tegas Yuslan.
Ketua DPC GMNI Kota Ternate, Mursal Hamir, menambahkan bahwa pembayaran lahan dilakukan pada 22 Februari 2018. Dana diduga diambil dari APBD Tahun Anggaran 2018. “Panitia pembebasan lahan dibentuk langsung oleh Kepala Dinas Perkim saat itu,” ungkap Mursal.
Masalah tidak berhenti di situ. Harga lahan yang dibayarkan pun dinilai janggal. Proses penetapan nilai tidak mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), melainkan ditentukan secara sepihak oleh panitia. Tanah tersebut dihargai Rp2,7 juta per meter persegi.
Transaksi pembayaran dilakukan melalui sebuah bank cabang di Manado dan ditransfer ke rekening atas nama Gerson Yapen, yang disebut-sebut masih berhubungan dengan Noke. Lebih dari itu, muncul dugaan bahwa Rp1 miliar dari total pembayaran mengalir ke pihak-pihak lain.
Koalisi mendesak Kejaksaan untuk tidak tinggal diam. “Ini bukan hanya soal pelanggaran administratif. Ini soal penghinaan terhadap supremasi hukum dan penyalahgunaan anggaran publik,” kata Yuslan. Mereka menuntut agar kasus ini dibuka kembali dan diusut hingga ke akarnya, termasuk kemungkinan keterlibatan aktor-aktor struktural di lingkup Pemerintah Kota Ternate.