PT Karya Wijaya Dibela, DPR RI dan Kementerian Kehutanan Diragukan

66
Foto/Istimewah (Dok: Brindo)

TERNATE, Corongpublik// Polemik dugaan tambang ilegal yang menyeret nama PT Karya Wijaya, perusahaan tambang milik Gubernur Maluku Utara, kembali memanas. Setelah Komisi IV DPR RI dan Kementerian Kehutanan menuding perusahaan itu belum layak beroperasi, manajemen PT Karya Wijaya melontarkan bantahan keras dan menyebut tudingan tersebut menyesatkan publik.

Bantahan itu disampaikan langsung oleh Fathoni Chandra, Direktur Kajian & Riset Perlindungan Kawasan Hutan & Laut. Ia memastikan PT Karya Wijaya beroperasi sesuai aturan dan tidak pernah melakukan kegiatan tanpa izin resmi.

“Yang melakukan aktivitas ilegal justru PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara (FBLN). Perusahaan itu yang mencaplok lahan konsesi sah milik PT Karya Wijaya dan PT Mineral Trobos,” ujarnya, Selasa (30/9/2025).

Fathoni menolak tudingan yang menyebut PT Karya Wijaya tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) maupun lalai menjalankan kewajiban reklamasi. Menurutnya, seluruh dokumen administrasi telah dipenuhi sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

“Kami terbuka untuk verifikasi lapangan bersama. Fakta di lapangan akan membuktikan siapa sebenarnya yang ilegal,” tegasnya.

Pernyataan ini berbanding terbalik dengan temuan Komisi IV DPR RI yang dipimpin mantan Istri Prabobo, Titik Soeharto bersama Kementerian Kehutanan saat kunjungan kerja di Ternate beberapa waktu lalu. Pertemuan yang digelar di Royal Resto itu menyoroti maraknya tambang ilegal di Maluku Utara, termasuk dugaan aktivitas tanpa izin oleh PT Karya Wijaya.

Dalam forum resmi tersebut, Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, yang juga pemilik PT Karya Wijaya, terlihat murung dan hanya mengelus dada saat tudingan diarahkan langsung kepadanya. Situasi itu menjadi sorotan publik karena pernyataan keras datang dari pejabat negara di hadapan dirinya.

Anggota Komisi IV DPR RI, Rajiv, menilai PT Karya Wijaya belum layak beroperasi. Ia menegaskan perusahaan itu belum memperoleh penetapan batas areal kerja sebagai syarat penting dalam aktivitas tambang. “Terkait dugaan penambangan ilegal, saya sudah kirim ke Dirjen Gakkumdu apakah bupati di daerah mengetahui PT ini atau tidak,” ujarnya.

Sementara itu, Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, Ade Tri Ajikusumah, menyebut PT Karya Wijaya memang memiliki IPPKH seluas 100 hektare untuk produksi nikel. Namun, kewajiban penataan batas dan perhitungan baseline yang harus dilakukan perusahaan hingga kini belum terlaksana.

“Proses penetapan batas areal kerja yang dilakukan PT Karya Wijaya pun tertunda karena adanya aktivitas tambang di luar wilayah IUP, yang kini sedang ditangani oleh Satgas PKH dengan keterlibatan Kementerian,” jelas Ade.

Selain persoalan itu, konflik izin usaha pertambangan (IUP) dengan PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara juga menjadi sorotan. Ade menjelaskan, IUP FBLN sebelumnya dicabut oleh Kementerian ESDM, sebelum kemudian wilayah tersebut dimasuki PT Karya Wijaya. Namun, PT Fajar Bhakti melakukan gugatan ke pengadilan dan memenangkan perkara, sehingga menimbulkan persoalan hukum baru.

“Persoalan ini masih berada dalam konteks hukum yang seharusnya ditangani oleh Kementerian ESDM,” terangnya.

Di tengah silang pendapat itu, manajemen PT Karya Wijaya tetap menegaskan komitmennya menjalankan usaha secara legal. Fathoni kembali mengajak media, lembaga pengawas, dan masyarakat sipil untuk turun langsung ke lokasi tambang di Pulau Gebe, Halmahera Tengah.

“Fakta di lapangan akan membuktikan siapa sebenarnya yang ilegal,” pungkasnya.

Kontroversi ini menambah panjang daftar masalah tambang di Maluku Utara, mulai dari konflik perizinan, sengketa lahan, hingga dugaan pelanggaran hukum. (Tim/Red)