SOFIFI, Corongpublik// Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, diserang kritikan oleh anggota DPRD Provinsi Malut karena dinilai gagal mendongkrak Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2026 yang anjlok hingga 20 persen. Kritik itu mencuat dalam rapat paripurna penyampaian pandangan umum fraksi terhadap Ranperda APBD 2026 di Gedung DPRD Malut, Sofifi, Selasa (21/10/2025).
Nazlatan Ukhra Kasuba, anggota DPRD Malut dari Fraksi Gerindra, menilai penurunan APBD dari Rp 3,1 triliun menjadi Rp 2,7 triliun mencerminkan gagalnya diplomasi fiskal Gubernur Sherly Laos.
“Penurunan APBD hampir 20 persen ini bukti diplomasi politik fiskal gubernur yang gagal total. Parahnya lagi, sudah gagal, absen pula,” tegas Nazla dalam rapat yang juga dihadiri sejumlah anggota dewan lainnya.
Nazla menyoroti ketidakhadiran gubernur dalam momen penting pembahasan Ranperda APBD tersebut. Ia mempertanyakan efektivitas perjalanan dinas dan lobi-lobi gubernur di tingkat pusat yang selama ini digembar-gemborkan membawa manfaat bagi daerah.
“Sebenarnya Ibu Gubernur ini di mana? Kalau di luar daerah, ngapain aja di luar sana? Karena dalam momen krusial seperti ini, kehadiran gubernur bukan sekadar formalitas, tapi bentuk tanggung jawab moral dalam mempertahankan APBD yang anjlok,” sindirnya.
Menurut Nazla, meski sempat optimis terhadap kepemimpinan Sherly Laos karena sering mendatangkan pejabat pusat ke Malut, hasilnya tak berbanding lurus dengan kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Masifnya pergerakan gubernur di luar daerah dengan alasan lobi-lobi pusat justru membuat TKD (Transfer ke Daerah) kita turun hingga Rp 707 miliar,” ungkapnya.
Kritik serupa juga disampaikan anggota Fraksi Golkar, Agriati Yulin Mus. Ia menilai absennya gubernur dalam paripurna pembahasan APBD sebagai bentuk ketidaksungguhan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
“Mengingat kondisi keuangan kita yang tertekan akibat pemangkasan TKD, seharusnya gubernur hadir langsung sebagai bentuk keseriusan. Ketidakhadirannya mencerminkan lemahnya posisi DPRD di hadapan eksekutif,” ujar Yulin.
Yulin menegaskan, berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, gubernur adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam urusan keuangan daerah, sehingga tak bisa diwakilkan.
“Kehadiran gubernur mutlak diperlukan karena ini menyangkut nasib keuangan daerah,” tegasnya.
Penurunan drastis APBD Maluku Utara Tahun Anggaran 2026, dari Rp 3,1 triliun menjadi Rp 2,7 triliun, kini menjadi sorotan tajam DPRD. Para legislator menilai, kegagalan diplomasi fiskal dan absennya kepemimpinan di momen strategis adalah sinyal buruk bagi arah pembangunan daerah.
—Tim/Red—