Mangoli dalam Cengkeraman Tambang: Tragedi Pulau Para Raja

29

Oleh: Fahrudin Panigfat, S.E., M.M

(Alumni Universitas Nasional Jakarta)

 

Di jantung Kepulauan Sula, sebuah pulau bernama Mangoli kini berteriak pilu. Bukan lagi desiran ombak yang menghiasi telinga, melainkan raungan amarah Masyarakat Bumi Mangoli. Mereka menolak 10 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mengancam merobek jantung pulau, merampas tanah pusaka. “Tanah Itu Harga Diri” teriak mereka, menggema di Taman Kota Sanana, Sebuah teriakan yang seharusnya menggugah nurani kita semua.

Teatrikal pilu yang menggambarkan intimidasi yang siap mencabik-cabik kehidupan masyarakat jika gerbang tambang dibuka lebar. Tubuh-tubuh renta terhuyung, wajah-wajah polos memucat, seolah meramalkan masa depan kelam di bawah cengkeraman korporasi. Pemandangan yang seharusnya membuat para pengambil kebijakan merenung, apakah pembangunan harus selalu mengorbankan manusia dan lingkungan?

Kepedihan mendalam menyelimuti Mangoli. Kerusakan alam dan konflik agraria adalah luka menganga di tubuh Indonesia, termasuk Maluku Utara. Pemerintah, dengan pongahnya, melupakan amanat konstitusi, mengkhianati rakyat. Janji kesejahteraan hanya menjadi ilusi di tengah ancaman nyata hilangnya mata pencaharian dan identitas masyarakat.

Pemerintah telah melanggar hukum adat, mengabaikan sosialisasi, dan menabrak kawasan hutan lindung, lahan pertanian, serta hutan rakyat. Ironisnya, semua ini dilakukan atas nama pembangunan dan investasi. Kita patut bertanya, pembangunan macam apa yang justru merusak dan menghancurkan kehidupan masyarakat lokal?

Ini adalah pengkhianatan terhadap UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pulau Mangoli, dengan luas 2.000 km², adalah pulau kecil yang seharusnya dilindungi. Namun, izin tambang justru mengancam ekosistemnya yang rapuh. Apakah kita rela melihat pulau ini hancur demi kepentingan segelintir pihak?

Di balik gemerlap janji kesejahteraan, tersembunyi ancaman nyata. Perkebunan kelapa, cengkeh, pala, cokelat, kopi, dan sagu akan lenyap ditelan kerakusan tambang. Masyarakat Mangoli akan kehilangan mata pencaharian, kehilangan jati diri. Mereka akan menjadi pengungsi di tanah sendiri, terasing dari akar budaya mereka.

Empat perusahaan raksasa telah siap menerkam Mangoli, PT Aneka Mineral Utama, PT Wira Bahana Perkasa, PT Wira Bahana Kilau Mandiri, dan PT Indo Mineral Indonesia. Nama-nama yang mungkin terdengar asing bagi kita, namun bagi masyarakat Mangoli, nama-nama ini adalah simbol ancaman dan ketidakadilan.

Tuntutan yang seharusnya menjadi alarm bagi para penguasa. Ini bukan sekadar masalah lokal, melainkan masalah nasional yang menyangkut keadilan, keberlanjutan, dan hak asasi manusia.

Deklarasi perang terhadap ketidakadilan. Masyarakat Mangoli siap menjadi perisai bumi, menjaga tanah pusaka dari cengkeraman para perampok. Di pulau para raja ini, darah perjuangan akan terus mengalir, demi masa depan yang lebih baik.

mari kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita akan diam saja melihat tragedi Mangoli terjadi? Ataukah kita akan ikut bersuara, mendukung perjuangan mereka, dan menuntut keadilan bagi pulau para raja ini? Pilihan ada di tangan kita.( Kamis 28 Agustus 2025).