SOFIFI, 17 Juli 2025- Wacana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kota Sofifi kembali mengemuka seiring belum jelasnya status administratif Sofifi yang telah ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara sejak 1999. Hingga kini, wilayah tersebut secara hukum merupakan pusat pemerintahan provinsi, namun secara administratif masih berada dalam wilayah Kota Tidore Kepulauan.
Ketua Umum Pengurus Besar Forum Mahasiswa Maluku Utara (PB Formalut) Jabodetabek, M. Reza A. Syadik, dalam siaran pers yang diterima Corong Publik, (17/7). menilai bahwa ketidakjelasan status administratif Sofifi telah menimbulkan anomali dalam tata kelola pemerintahan. Menurut dia, absennya otoritas administratif di pusat ibu kota provinsi berpotensi melemahkan efektivitas pelayanan publik, kepastian hukum, serta identitas wilayah.
“Urgensi penataan kelembagaan pemerintahan di Sofifi tidak terbantahkan,” ujar Reza.
Namun, Reza menekankan bahwa pembentukan DOB Sofifi bukan semata-mata soal administratif. Sofifi merupakan bagian dari wilayah adat Kesultanan Tidore, sebuah entitas historis yang memiliki legitimasi sosial dan budaya yang kuat. Dalam konteks ini, ia mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam pembentukan kota baru agar tidak menafikan hak-hak masyarakat adat serta nilai-nilai sejarah yang telah mengakar jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.
“Kita dihadapkan pada dilema konstitusional dan historis. Di satu sisi, kebutuhan akan kota administratif otonom memang nyata. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa pembentukan DOB ini bisa dianggap sebagai bentuk pengaburan memori sejarah Kesultanan Tidore,” ucapnya.
Reza menggarisbawahi bahwa langkah pembentukan DOB harus menjunjung tinggi prinsip negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Ia juga mengingatkan pentingnya penghormatan terhadap masyarakat adat, sesuai amanat Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yang mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
“Karena itu, pembentukan Kota Sofifi tidak boleh bersifat pragmatis atau birokratis belaka. Ia harus dibangun di atas dialog yang konstruktif dan berlandaskan penghormatan terhadap sejarah lokal,” katanya.
PB Formalut mengusulkan sejumlah langkah strategis yang dinilai dapat menjembatani kepentingan administratif dan nilai historis. Pertama, pembentukan Tim Perumus Bersama yang melibatkan pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Maluku Utara, DPRD, tokoh masyarakat, akademisi, serta perwakilan Kesultanan Tidore, termasuk Sultan Tidore. Tim ini bertugas merumuskan format kelembagaan baru Kota Sofifi yang tidak menghapus jejak sejarahnya.
Kedua, pengkajian skema otonomi khusus atau otonomi terbatas, yang memungkinkan Sofifi menjadi kota administratif khusus di bawah pengawasan langsung pemerintah provinsi. Dalam skema ini, unsur budaya dan simbolik Kesultanan Tidore tetap menjadi bagian dari perencanaan tata ruang dan identitas kota.
Ketiga, amendemen terhadap Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 yang bersifat adil dan aspiratif. Revisi undang-undang ini diharapkan tidak hanya menegaskan status administratif Sofifi, tetapi juga memuat prinsip penghormatan terhadap sejarah dan nilai-nilai Pancasila serta konstitusi.
‘Langkah ini akan menempatkan Sofifi bukan hanya sebagai pusat administratif pemerintahan provinsi, tetapi juga sebagai ruang hidup yang mencerminkan identitas sejarah dan kearifan lokal,” ujar Reza.
PB Formalut menyatakan tidak berpihak pada posisi pro maupun kontra terhadap wacana DOB Sofifi. Mereka memilih berdiri pada prinsip konstitusional bahwa negara wajib menghargai hak teritorial dan historis Kesultanan Tidore. “Aspirasi pembangunan harus selaras dengan narasi sejarah,” kata Reza.
Ia juga mengajak Gubernur Maluku Utara, Sherly Joanda Laos, untuk mengambil peran aktif dalam merumuskan solusi konstitusional yang mampu menyatukan kepentingan administratif dengan nilai-nilai historis.
Reza menekankan pentingnya menjadikan Sofifi bukan hanya sebagai kota di atas peta, tetapi sebagai “rumah bersama” yang adil bagi seluruh identitas yang hidup di dalamnya.
Mengakhiri pernyataannya, Reza mengutip pesan Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarah dan para pendahulunya.”
“Pembentukan Kota Sofifi seharusnya menjadi contoh konkret bagaimana negara membangun masa depan tanpa mengubur masa lalu,” ujar Reza. (Red)