JAKARTA, Corongpublik// Pemerintah Provinsi Maluku Utara kembali menjadi sorotan publik setelah terungkap bahwa Gubernur Sherly Tjoanda Laos mengalokasikan dana jumbo untuk mempercantik fasilitas pribadinya di tengah krisis fiskal daerah. Berdasarkan data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Malut, proyek pengadaan perlengkapan ruang kerja gubernur senilai Rp7 miliar dan rehabilitasi rumah dinas jabatan sebesar Rp8,8 miliar telah dikucurkan tahun 2025. Sementara di sisi lain, anggaran untuk beasiswa mahasiswa hanya sebesar Rp3 miliar.
Ketua Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI), Sarjan H. Rivai, menilai kebijakan tersebut menunjukkan rendahnya kepedulian Pemprov terhadap kebutuhan rakyat, khususnya pendidikan. “Gubernur Sherly tidak tanggung-tanggung menggunakan anggaran besar untuk memperindah wajah pribadinya di depan publik, sementara untuk mahasiswa hanya tiga miliar. Itu ironi,” ujar Sarjan, Minggu (19/10/25).
Sarjan mengungkapkan, proyek pengadaan senilai Rp7 miliar tersebut tercatat dalam tender Penyediaan Peralatan dan Perlengkapan Kebutuhan KDH dan WKDH dengan kode 10086536000, menggunakan APBD Tahun 2025. Berdasarkan dokumen LPSE, anggaran itu digunakan untuk membeli berbagai perlengkapan mewah, mulai dari meja kursi kerja, sofa tamu, televisi, CCTV, AC, hingga microwave. Proyek tersebut melekat pada Biro Umum Sekretariat Daerah Malut dengan nilai HPS mencapai Rp6,83 miliar.
Tak berhenti di situ, lanjutnya, Pemprov juga menganggarkan Rp8,8 miliar untuk rehabilitasi rumah dinas gubernur yang dilaksanakan secara swakelola oleh Dinas PUPR.
“Jika dijumlahkan, Rp15,8 miliar uang rakyat hanya untuk mempercantik ruangan dan rumah jabatan Sherly. Ini pemborosan di tengah krisis,” tegas Sarjan.
Di sisi lain, anggaran beasiswa yang diklaim sebesar Rp3 miliar dinilai sangat kecil dan tidak sebanding dengan kebutuhan pendidikan di Maluku Utara. Berdasarkan pernyataan Gubernur Sherly Laos dalam acara penandatanganan MoU antara Pemprov dan 27 perguruan tinggi di Aula Nuku, Unkhair Ternate, Jumat (16/5) lalu, Rp2 miliar dari dana tersebut diperuntukkan bagi mahasiswa S1, sementara Rp1 miliar lainnya masih dalam kajian untuk S2 dan S1 Kedokteran.
“Seharusnya gubernur lebih memprioritaskan infrastruktur dan pendidikan. Jalan di Oba Selatan, Taliabu, dan berbagai wilayah terpencil rusak parah, bahkan mahasiswa kesulitan biaya kuliah,” kritik Sarjan.
Ia juga menyoroti dugaan rangkap jabatan dan konflik kepentingan yang melibatkan Sherly Tjoanda Laos. Menurutnya, Sherly memiliki saham mayoritas hingga 71 persen di perusahaan tambang yang beroperasi di Maluku Utara.
“Perusahaan itu diduga mencemari laut, merusak hutan, dan melanggar putusan MK soal larangan tambang di pulau kecil,” ujarnya.
Salah satu perusahaan yang disorot adalah PT Karya Wijaya, yang disebut melakukan pembangunan jetty tanpa izin reklamasi dan PKKPRL. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI tertanggal 24 Mei 2024, perusahaan tersebut belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan, belum menempatkan jaminan reklamasi, dan belum mengantongi izin jetty.
Sarjan menilai lemahnya pengawasan pemerintah terhadap aktivitas tambang di Malut menjadi akar persoalan. Ia menuding instansi seperti Bapedal, Inspektur Tambang, dan KKP gagal menjalankan fungsi pengendalian.
“Lembaga-lembaga ini mandul. Kerusakan laut dan lingkungan tidak sebanding dengan sekadar beasiswa tiga miliar yang bahkan belum jelas penerimanya,” tandasnya.
Kritik terhadap kebijakan Gubernur Sherly Laos kian menguat di tengah tekanan fiskal dan pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat. Publik menilai, prioritas Pemprov Malut telah melenceng jauh dari kepentingan rakyat.
“Ketika rakyat berjuang untuk biaya pendidikan dan infrastruktur dasar, pemerintah justru sibuk memperindah ruang kerja,” pungkas Sarjan.(Tim/Red)