Nikel dan Luka di Tanah Sendiri: Ketika Hilirisasi Mengorbankan Masa Depan

11

Oleh : Yunandra Sowakil (Ketua DPC GMNI Bogor)

Sebagai generasi muda yang menatap masa depan Indonesia dengan semangat dan harapan, kami tak bisa menutup mata terhadap paradoks getir yang menyertai geliat industri nikel. Di balik jargon hilirisasi dan ambisi menjadikan Indonesia sebagai “lumbung nikel dunia,” tersembunyi realitas pilu, pembangunan yang melukai ruang hidup, merampas hak hak masyarakat adat, dan merusak warisan ekologis bangsa.

Hilirisasi nikel, yang seharusnya menjadi tonggak transformasi ekonomi nasional, kini berubah wujud menjadi arena kompromi terhadap prinsip dasar pembangunan berkelanjutan. Proyek-proyek raksasa seperti PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Morowali memang menjanjikan investasi dan lapangan kerja. Namun, apakah modernisasi ini benar-benar membawa kemajuan?

Fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya, hak masyarakat adat di kawasan hutan Halmahera terus-menerus tergerus oleh proses alih lahan yang minim prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Deforestasi masif tak hanya mengancam keanekaragaman hayati Maluku Utara, tetapi juga menghilangkan penyangga ekosistem vital yang menopang kehidupan lokal.

Emisi sulfur dioksida dari smelter menimbulkan hujan asam, menghancurkan pertanian rakyat yang menjadi tumpuan ekonomi komunitas. Di Pulau Obi, sedimentasi dan limbah tailing dari PT Trimegah Bangun Persada telah merusak ekosistem pesisir, memiskinkan nelayan tradisional, dan memperparah ketimpangan struktural.

Morowali pun menjadi cermin paling kelam dari kegagalan menyatukan logika industri dengan etika sosial. Kawasan industri nikel yang megah, seperti milik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), justru identik dengan lemahnya standar keselamatan kerja, berulangnya kecelakaan fatal, dan minimnya perlindungan terhadap pekerja. Di saat yang sama, masyarakat sekitar bergulat dengan udara yang kian tercemar dan krisis air bersih yang belum kunjung diatasi.

Apakah ini harga yang harus dibayar untuk kemajuan? Atau justru kita sedang menggali lubang masa depan dengan tangan kita sendiri?

Sebagai kaum intelektual muda, kami menolak narasi pembangunan yang membungkam suara rakyat dan meminggirkan nilai-nilai keadilan ekologis. Indonesia tidak bisa terus menerus menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai dalih untuk membenarkan perampasan ruang hidup.

Kami menyerukan perlunya perubahan mendasar dalam cara kita membangun dan mengelola industri ekstraktif, khususnya di sektor nikel. Pertama, diperlukan pendekatan partisipatif yang sungguh-sungguh menempatkan masyarakat adat sebagai mitra setara dalam proses pembangunan bukan sekadar objek eksploitasi atau hambatan proyek. Suara dan hak mereka harus menjadi pijakan utama dalam setiap keputusan yang menyangkut tanah, hutan, dan kehidupan mereka.

Kedua, kami menuntut adopsi teknologi hijau sebagai standar wajib dalam operasional industri, bukan sekadar jargon korporasi atau pelengkap laporan keberlanjutan. Teknologi penangkap emisi, pengelolaan limbah terpadu, serta sistem produksi rendah karbon harus menjadi keniscayaan, bukan pilihan. Ketiga, kami mendorong terwujudnya kolaborasi triple helix yang kuat antara pemerintah, industri, dan akademisi untuk menjamin adanya audit lingkungan yang independen dan perlindungan hak asasi manusia yang substansial. Hanya dengan sinergi berbasis transparansi dan akuntabilitas inilah, pembangunan industri bisa sejalan dengan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis.

Sebab pembangunan yang memutus mata rantai kehidupan rakyat dan alam bukanlah kemajuan ia adalah kemunduran berwajah modern.

Kami mendesak para pemegang kebijakan agar tidak menutup telinga terhadap sinyal-sinyal bahaya yang datang dari Halmahera, Morowali, dan Obi. Hilirisasi nikel bukan sekadar bagian dari rantai pasok global baterai kendaraan listrik ini adalah ujian moral dan integritas bangsa.

Apakah kita akan mewariskan martabat atau kerusakan kepada generasi mendatang?