Pemberhentian Perangkat Desa Atas Perintah Tim Dinilai Cacat Hukum

52
Veynrich Merek, S.H., praktisi hukum dari Perkumpulan Advokat dan Pengacara Nusantara (PERADAN)

MOROTAI, 8 Juli 2025- Keputusan sejumlah kepala desa di Kecamatan Morotai Jaya yang memberhentikan perangkat desa dengan alasan perintah dari tim pemenangan bupati menuai kritik tajam. Praktisi hukum menilai tindakan tersebut menabrak aturan dan berpotensi cacat hukum.

Veynrich Merek, S.H., praktisi hukum dari Perkumpulan Advokat dan Pengacara Nusantara (PERADAN), menilai bahwa keputusan kepala desa yang memberhentikan aparat desa berdasarkan desakan politik merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. “Pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa tidak bisa didasarkan pada perintah lisan atau tekanan politik. Semuanya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan,” kata Veynrich kepada Jurnalis Corong Publik, Selasa, 8 Juli 2025.

Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Permendagri Nomor 67 Tahun 2017, yang secara tegas mengatur tata cara pemberhentian perangkat desa. Dalam Pasal 53 UU Desa, disebutkan bahwa perangkat desa hanya dapat diberhentikan karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan berdasarkan alasan yang sah seperti usia, pelanggaran berat, atau tidak lagi memenuhi syarat jabatan.

“Pemberhentian itu bukan semata-mata kewenangan kepala desa. Harus ada konsultasi dengan camat yang mewakili bupati. Bahkan camat harus menganalisis dan memberikan rekomendasi tertulis apakah pemberhentian tersebut layak atau tidak,” ujar Veynrich.

Ia juga menegaskan bahwa Pasal 5 ayat (1) Permendagri 67/2017 mewajibkan kepala desa berkonsultasi dengan camat sebelum melakukan pemberhentian. Dalam praktiknya, konsultasi ini menjadi mekanisme kontrol terhadap potensi tindakan sewenang-wenang.

“Kalau perangkat desa dianggap melanggar larangan, ada mekanismenya yaitu sanksi administratif dulu, seperti teguran lisan atau tertulis. Jika tidak diindahkan, baru bisa diberhentikan sementara, lalu diproses untuk pemberhentian tetap,” jelasnya.

Menurut Veynrich, praktik pemberhentian sepihak yang marak terjadi saat ini menjadi preseden buruk dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Ia mendorong semua pihak untuk mematuhi ketentuan hukum demi menjaga marwah birokrasi desa dan kepercayaan publik.

“Jika kepala desa selama ini merasa bisa memberhentikan perangkat semaunya, maka sudah waktunya kita berbenah. Pemerintahan yang taat hukum adalah fondasi bagi keadilan sosial di tingkat desa,” tandasnya. (Ahlit/Red)