JAKARTA, Corongpublik.com- Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Makean-Kayoa kini tidak lagi sekadar agenda administratif. Bagi Poros Muda Makayoa di Jakarta, gerakan ini telah menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap rezim kekuasaan yang dianggap gagal dan diskriminatif-terutama di bawah kepemimpinan Bupati Halmahera Selatan, Basam Kasuba, dan wakilnya, Helmi Umar Muksin.
Para aktivis mahasiswa asal Makean-Kayoa di ibu kota memaknai DOB bukan sebagai rutinitas birokratik yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, melainkan sebagai ekspresi kemarahan kolektif atas marginalisasi struktural yang berlangsung sistematis. Ketimpangan pembangunan, ketidakadilan anggaran, dan pengabaian atas hak-hak warga kepulauan menjadi pemantik utama gerakan ini.
Proyek strategis seperti Jalan Lingkar Pulau Makean dan Jalan Lingkar Kayoa Selatan adalah cermin dari kegagalan manajemen pembangunan yang akut. Bertahun-tahun proyek ini mangkrak tanpa kejelasan, hanya dilapisi oleh retorika normatif dari pemerintah daerah dan provinsi yang terus melempar tanggung jawab. Sementara itu, masyarakat lokal menjadi korban langsung dari ketidakmampuan negara menjalankan mandat pembangunan.
Ketimpangan spasial yang mencolok antara wilayah pusat kabupaten dan daerah kepulauan telah menciptakan realitas politik “anak tiri”. Dalam situasi ini, DOB Makean-Kayoa bukan lagi sebuah opsi, tetapi keniscayaan. Sebuah langkah korektif terhadap ketidakadilan yang berlangsung terlalu lama.
“Dukungan terhadap DOB Makean-Kayoa adalah bentuk konkret perlawanan terhadap ketimpangan yang dipelihara pemerintah daerah. Kami menolak dijadikan objek politik elektoral tanpa imbalan pembangunan yang adil,” tegas M. Reza A. Syadik, aktivis muda Poros Makayoa Jakarta.
Lebih jauh, perjuangan DOB Makean-Kayoa adalah respons atas praktik manipulatif elit politik lokal yang gemar menjadikan isu pemekaran sebagai alat transaksi politik. Lihat saja bagaimana DOB Kepulauan Obi digenjot menjelang Pilkada 2024, hanya untuk kemudian terabaikan setelah kepentingan elektoral usai. Kementerian Dalam Negeri pun tampak tak lebih dari panggung dagelan yang dimainkan oleh para elit daerah termasuk Basam Kasuba alih-alih menjadi lembaga yang berpihak pada aspirasi rakyat.
Poros Muda Makayoa dengan tegas menyatakan tidak akan membiarkan agenda DOB Makean-Kayoa diperalat seperti kasus DOB Obi. Mereka menyadari, perjuangan ini bukan hanya tentang pemisahan administratif, melainkan koreksi terhadap relasi kekuasaan yang timpang dan tuntutan atas hak masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri.
Jika semua syarat administratif telah terpenuhi namun pemerintah pusat tetap bermain aman di bawah tekanan politik lokal, maka gerakan rakyat dari Jakarta akan menggema. “Ini bukan ancaman,” tegas Reza, “ini adalah komitmen moral.”
DOB Makean-Kayoa adalah strategi konstitusional untuk merebut kembali hak dasar warga Negara hak atas keadilan pembangunan, hak atas pengakuan politik, dan hak untuk tidak diperlakukan sebagai wilayah pelengkap penderita. Ini bukan separatisme. Ini adalah koreksi atas kegagalan sistemik yang dibiarkan oleh Basam Kasuba.
Kegagalan pemerintahan Basam Kasuba dalam mendistribusikan pembangunan secara adil adalah bukti bahwa status quo tidak dapat lagi dipertahankan. Maka, pemekaran DOB Makean-Kayoa bukan sekadar tuntutan, tetapi kewajiban historis dan moral.