Perspektif Gerakan Barat dan Militansi Gerakan di Indonesia 1998

20

Oleh : Wilda Cahyani (Kader DPC GMNI Kolaka)

 

Sejarah gerakan sosial adalah sejarah perlawanan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan dari revolusi Prancis 1789 hingga gelombang student movement Eropa 1968, gerakan mahasiswa di Barat selalu lahir dari ketidakpuasan terhadap hegemoni kekuasaan dan kapital. Di tengah kondisi hari ini, penting untuk merefleksikan kembali militansi gerakan mahasiswa Indonesia 1998 dengan membandingkan akar filsafat dan praktik gerakan sosial di Barat. Apakah gerakan mahasiswa Indonesia mampu mewarisi semangat tersebut, atau justru terjebak dalam euforia yang tak berkelanjutan?

Herbert Marcuse menyebut mahasiswa sebagai “agen perubahan potensial” karena mereka berada di luar struktur kekuasaan tetapi memiliki kesadaran kritis. Gerakan mahasiswa, dalam pandangan ini, bukan hanya bentuk protes, melainkan artikulasi kehendak kolektif yang historis untuk menggugat tatanan yang timpang. Filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre menegaskan pentingnya praxis tindakan sadar yang memberi makna pada keberadaan manusia.

Indonesia pada 1998 menjadi contoh nyata bagaimana teori-teori ini menjelma dalam praksis. Mahasiswa tidak hanya turun ke jalan secara spontan, tetapi digerakkan oleh akumulasi krisis ekonomi, kebekuan politik di bawah rezim otoriter, dan keterpurukan sosial akibat represi panjang. Militansi itu bukan sekadar pengaruh dari luar, tetapi berakar dari kekhasan lokal, tradisi intelektual kampus, moralitas rakyat tertindas, dan keberanian menantang represivitas negara.

Dalam konteks ini, gerakan mahasiswa Indonesia menjadi bentuk praxis eksistensial ketika tubuh menjadi alat perjuangan dan suara menjadi gema perubahan. Aksi mereka tidak hanya menunjukkan kemarahan, melainkan kesadaran mendalam bahwa diam berarti tunduk pada penindasan.

Namun, terdapat perbedaan mendasar antara gerakan Barat dan gerakan mahasiswa Indonesia. Di Barat, banyak gerakan berujung pada institusionalisasi melahirkan serikat, partai, atau wadah politik formal. Sebaliknya, gerakan mahasiswa Indonesia pasca 1998 justru terjebak dalam euforia kemenangan dan gagal menjaga kesinambungan gerakan.

Setelah Orde Baru tumbang, hegemoni politik lama perlahan menata ulang dirinya. Banyak mahasiswa atau mantan aktivis terserap ke dalam arus pragmatisme kekuasaan. Militansi kehilangan arah, dan gerakan kehilangan bentuknya sebagai kekuatan permanen yang mampu menjaga serta merawat demokrasi.

Sejarah 1998 mengajarkan bahwa militansi tanpa konsistensi ideologis hanya akan melahirkan ledakan sesaat. Gerakan besar bisa runtuh jika tidak ada kesadaran jangka panjang. Ini menjadi cermin kritis bagi gerakan mahasiswa hari ini sudahkah kita memahami konteks perlawanan kekinian? Atau masih terjebak dalam romantisme sejarah yang kian menjauh?

Untuk menjawab tantangan itu, gerakan mahasiswa hari ini perlu kembali membaca dan merefleksikan pemikiran tokoh-tokoh seperti Marcuse, Gramsci, dan Fanon. Kita perlu memahami ulang bagaimana hegemoni bekerja, bagaimana kesadaran kritis dibentuk, dan bagaimana kolonialisme menjelma dalam wajah-wajah baru modal, media, dan negara.

Militansi sejati bukan tentang mengenang heroisme masa lalu, tetapi tentang menyalakan bara perlawanan hari ini. Dalam dunia yang terus berubah, penindasan selalu menemukan bentuk baru. Maka, tugas gerakan adalah terus mencari dan menciptakan bahasa perlawanan yang relevan.

Gerakan mahasiswa harus menjadi agen pembebasan, bukan sekadar penonton dalam panggung demokrasi yang dikuasai oligarki. Kini saatnya untuk membangun gerakan yang ideologis, konsisten, dan berkesadaran historis agar sejarah tidak hanya diulang, tetapi diperbaiki.