PETAKA DI BUMI PUSAKA (Bincang Buku di Hari Purbakala Nasional)

62
Rinto Taib. Ketua Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI Ternate)

Oleh: Rinto Taib. (Ketua PA GMNI Ternate)

Malam tadi, 14 Juni 2025 bertempat di Pandopo Benteng Oranje dilaksanakan Bincang Buku yang diinisiasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate. Buku yang dibincangkan tergolong istimewa ditengah hangatnya pemberitaan media cetak maupun online dan ramai diberbagai platform digital belakangan ini seputar persoalan perebutan sumber daya alam dan pertambangan di berbagai penjuru negeri ini, dari Aceh ujung paling Barat Indonesia hingga ujung paling timur Indonesia, Papua. Demikian pula di Kepulauan Halmahera provinsi Maluku Utara.

Jangan Jual Halmahera, judul buku  yang dibincangkan malam tadi menjadi sangat menarik dengan ulasan yang berbasis pada data lapangan karya 18 orang jurnalis yang pernah dipublilasikan di berbagai media nasional dan media lokal.

Buku berita seperti ini tergolong langkah diterbitkan dan dipublikasikan bahkan di bincangkan dalam diskursus publik sehingga kemudian menjadikannya begitu istimewa. Selain isunya yang tergolong aktual di tingkat lokal dan nasional juga menjadi semakin memiliki makna yang mendalam karena  diperbincangkan di ruang pusaka benteng Oranje pada momentum hari Purbakala Nasional,  14 Juni 2025.

Sebuah momentum yang mengingatkan kita akan sejarah kolonialisme dan tragedi kelam dimasa lalu yang seolah tampil kembali dimasa kini. Wajah baru kolonialisme dalam riwayat ekplorasi sumber daya alam yang berdampak pada hilangnya ruang “hidup” hingga ruang “mati” warga, serta dampak yang turut menyertainya. Kerusakan alam daratan yang bersentuhan dengan pemukiman dan mata pencaharian dari bertani hinngga  dampak ekologis di wilayah pesisir dan lautan yang tercemari akibat dari aktivitas industri pertambangan tersebut.

Hal tersebut diulas para penulis berdasarkan peliputan dari aktivitas pertambangan yang direkam dari berbagai sudut pandang dan dipertajam analisis hasil riset akademisi yang tampil dipresentasikan malam tadi. Tak hanya soal dampak bagi kehodupan manusia semata melainkan pula habitat  flora dan fauna  secara  lebih luas. Menurunnya populasi burung serta ancaman kepunahannya tak luput dari investigasi jurnalistik dalam buku ini sebagaimana ancaman kepunahan 40 spesis burung endemik dari total 350 jenis burung yang berasal dari Maluku Utara sebagai bagian dari Wallace line (garis Wallacea), dan lain-lain sebagainya.

Realitas ini tentu membuat dada kita terasa sesak sembari menghela napas panjang penuh kekhawatiran atas ancaman kepunahan atas keberlangsungan dan keberlanjutan keanekaragaman hayati serta identitas budaya dan kearifan lokal terkait pengelolaan sumber daya alam yang begitu menjadi narasi agung lintas generasi yang mengajarkan kita harmoni dengan alam dalam menjaga keseimbangan dan kelestariannya.

Keragaman tematik seputar realitas pertambangan yang diulas dari buku ini memberi kesan mendalam bagi kita bahwa pembangunan mesti ditafsir ulang dan keberpihakan pada dimensi humanisme universal serta prinsip-prinsip konsevasi ekologis menjadi keniscayaan dan mendesak untuk dilakukan.

Halmahera Jangan Dijual, bukanlah sekedar sebuah buku berita, meski masih memerlukan analisis kajian mendalam dari setiap isu yang diangkat. Tentu pula menjadi penting bagi publik untuk pendalaman lebih lanjut melalui riset dan kajian akademis sekaligus menjadi penting bagi para perencana pembangunan hingga agenda-agenda advokasi dan kalangan pro demokrasi untuk sebuah misi pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Bincang buku ini mengingatkan kita akan eksplorasi dan ekploitasi sumber daya alam khususnya komoditi rempah-rempah dimasa lalu oleh bangsa-bangsa kolonial yang kini seolah hadir kembali dalam wujud yang lain dengan semangat yang tentu sama. Narasi pembangunan yang didengungkan didengungkan dibalik gemuruh dan kebisingan boldoser yang mencengkram perut bumi tanah pusaka warisan leluhur kini berbuah petaka yang telanjang dihadapan mata kita untuk kembali kita renungkan karena sesungguhnya api perlawanan mesti terus menyala sebagai warisan nilai dan epos kepahlawanan para lekuhur negeri ini dari ancaman eksploitasi dan keserakahan tanpa kendali demi akumulasi keuntungan dibalik jubah investasi proyek strategis nasional.