PONTIANAK- Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kalimantan Barat 1 yang semula diharapkan menjadi solusi pasokan energi di wilayah tersebut, kini menjelma menjadi simbol kegagalan tata kelola dan pengawasan negara. Di balik angka investasi yang menembus Rp1,2 triliun, proyek ini justru menyisakan deretan pertanyaan soal transparansi, akuntabilitas, dan kemungkinan praktik korupsi yang melibatkan anak-anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Ini bukan sekadar proyek gagal. Ini kejahatan yang disusun secara sistematis, dilegalkan oleh jabatan, dan tumbuh subur di lorong gelap sistem birokrasi,” kata Zulfikar, pemerhati kebijakan publik, saat diwawancarai media ini, Jumat, 20 Juni 2025.
PLTU Kalbar 1 yang dibangun untuk memperkuat sistem kelistrikan di Kalimantan Barat justru terbengkalai, sementara sebagian masyarakat masih bergantung pada genset. Bukan karena teknologi pembangkit yang rumit, melainkan karena anggaran yang diduga lebih mudah “dihilangkan” ketimbang diwujudkan menjadi listrik.
Zulfikar menyoroti keberadaan anak perusahaan BUMN yang menurutnya kerap menjadi pintu masuk praktik penyimpangan. “Banyak dari mereka yang tak diaudit secara ketat, tak diawasi, dan jarang tersentuh hukum. Struktur yang seharusnya mendukung efisiensi justru berubah menjadi labirin birokrasi yang membuka ruang lebar bagi permainan kontrak, pengalihan pekerjaan fiktif, hingga penggelapan anggaran,” ujarnya.
Ia juga menyinggung lemahnya penindakan hukum meski Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah masuk dan menemukan dugaan penyimpangan. “Proyeknya fiktif, tapi anggarannya nyata. Pembangkitnya mati, tapi uangnya mengalir. Ini menunjukkan ada yang salah secara struktural,” katanya.
Pertanyaan pun mengarah pada keterlibatan induk perusahaan, sejauh mana Direksi PLN mengetahui kondisi ini? Apakah mereka tidak tahu, atau justru mengetahui tapi memilih diam? “Jika Direktur Utama PLN tidak tahu, berarti ia gagal. Tapi jika ia tahu dan membiarkan, berarti ia terlibat. Dan jika penegak hukum tahu tapi belum bertindak, maka negara ikut bersengkongkol,” ucap Zulfikar.
Desakan pun mengemuka agar penegakan hukum tidak berhenti di level pelaksana teknis. “Pucuk pimpinan PLN dan anak-anak perusahaannya harus diperiksa. Selama mereka masih duduk di kursi nyaman, korupsi akan terus menyala lebih terang daripada listrik yang gagal mereka nyalakan.”tuturnya
Zulfikar juga menyatakan kesiapannya untuk mengerahkan massa dalam jumlah besar guna menekan aparat penegak hukum agar segera bertindak. Ia khawatir, para aktor di balik layar dapat bergerak cepat untuk melindungi diri dan mengamankan kepentingannya.
Sementara itu, upaya media ini untuk menghubungi pihak-pihak terkait belum memperoleh tanggapan hingga berita ini diterbitkan. (Red)