Polisi Diganjar Penghargaan Setelah Menindas Rakyat: Cermin Gelap Demokrasi di Era Prabowo

29
Fikram S. Minangkabau Kader GMNI Kota Ternate

Opini | Oleh: Fikram S. Minangkabau (Kader GMNI Ternate)

 

Tragedi yang dikenal sebagai “September Berdarah” menjadi potret buram demokrasi di Indonesia. Saat rakyat menuntut keadilan melalui aksi demonstrasi, negara justru merespons dengan tindakan represif dan pembungkaman. Yang lebih mengejutkan, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Kapolri untuk memberikan kenaikan pangkat luar biasa kepada aparat kepolisian yang disebut sebagai “korban” akan tetapi, narasi resmi negara ini justru menafikan kenyataan bahwa korban sejati adalah rakyat.

Pernyataan Presiden Prabowo telah membelokkan harapan bangsa yang menanti pemimpin tegas namun berpihak pada rakyat. Di tengah situasi di mana masyarakat memprotes kebijakan yang dirasa tidak adil dan bahkan kembali mencium aroma otoritarianisme ala Orde Baru respon Presiden justru mendukung aparat yang menindas.

Padahal, tragedi yang terjadi bukan hanya tentang siapa yang menjadi korban, tetapi menyangkut keberpihakan dan komitmen seorang pemimpin terhadap rakyatnya. Bung Karno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kini, perjuangan itu kita hadapi dalam bentuk perlawanan terhadap elit bangsa sendiri yang mengabaikan  penderitaan masyarakat.

Sebagai contoh nyata, publik dikejutkan oleh kematian seorang driver ojek online (Ojol) yang tewas dilindas mobil Brimob saat unjuk rasa di sekitar DPR RI. Bukannya mengusut tuntas atau memberi keadilan bagi korban, negara hanya memberikan permintaan maaf yang tampak formalitas. Bahkan sebaliknya anggota polisi yang terlibat justru diberi kenaikan pangkat. Sebuah ironi yang menyakitkan.

Penghargaan yang seharusnya diberikan kepada mereka yang berjasa melindungi rakyat, kini diberikan kepada aparat yang melukai rakyat. Situasi ini menegaskan bahwa negara kini lebih condong melindungi kepentingan elit ketimbang masyarakat luas.;,

Dulu, kata “Merdeka atau Mati” yang diteriakkan Bung Tomo menjadi bahan bakar perjuangan rakyat melawan penjajahan. Kini, slogan itu seolah direbut dan dimanipulasi untuk membakar semangat aparat dalam melawan rakyatnya sendiri. Polisi, yang seharusnya menjadi pelindung, justru berubah menjadi algojo.

Apakah Indonesia sudah merdeka seutuhnya? Pertanyaan ini relevan ketika masyarakat merasa dijajah oleh bangsanya sendiri, diperbudak oleh kepentingan asing, dan dibungkam oleh kekuasaan yang menyesatkan.

Tan Malaka pernah mengatakan, “Kemerdekaan sejati tidak hanya berarti bebas dari kekuasaan asing, tetapi juga pembebasan pikiran dari penindasan dan fanatisme buta.” Hari ini, seolah negara menolak bangsa ini untuk berpikir merdeka. Rezim lebih memilih menakuti daripada mengayomi, membungkam daripada mendengar.

Kenaikan pangkat luar biasa mendadak diberikan kepada aparat pasca tragedi unjuk rasa menjadi simbol rezim yang mulai melenceng dari cita-cita reformasi. Polisi diberi penghargaan setelah melakukan tindakan yang menyebabkan hilangnya nyawa rakyat. Ini adalah kemunduran demokrasi.

Rakyat Indonesia tak boleh lupa: kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Presiden bukan penguasa mutlak, dan aparat bukan algojo kekuasaan. Jika pembungkaman dibiarkan, jika pembunuhan dibalas dengan penghargaan, maka demokrasi telah mati, dan kita hidup dalam tirani yang dibungkus konstitusi.

Indonesia gelap. Tapi rakyat harus menjadi cahaya.