SOFIFI, Corongpublik// Dugaan penyalahgunaan material kembali mencoreng proyek pemerintah di Maluku Utara. Proyek pemasangan bronjong penahan longsor di kali Dusun Toe, Desa Kusu, Kecamatan Oba, diduga menggunakan batu kali ilegal yang diambil langsung dari sungai menggunakan alat berat, Senin (1/12/25). Aktivitas ini terjadi tanpa izin resmi dan langsung diangkut ke lokasi pekerjaan.
Temuan tersebut memicu kecaman warga. Fendi, warga Oba, membenarkan bahwa material untuk proyek Dinas PUPR Malut itu berasal dari sungai yang berada di samping lokasi pekerjaan. Ia menilai tindakan tersebut sangat berisiko, karena merusak ekosistem sungai, mengancam struktur jembatan, dan memperlebar bibir sungai.
Fendi menegaskan bahwa aktivitas pengambilan material tanpa izin merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Selain melanggar Minerba, praktik tersebut juga dinilai memenuhi unsur perusakan lingkungan sesuai UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penggalian sungai dengan alat berat dapat menyebabkan perubahan aliran air, pendangkalan sungai, kerusakan habitat, hingga meningkatkan risiko banjir.
Warga mendesak agar kontraktor segera diberi sanksi tegas, mulai dari administratif hingga pemutusan kontrak. Mereka juga meminta perusahaan pelaksana dimasukkan dalam daftar hitam apabila terbukti menggunakan material ilegal demi menghindari standar biaya yang sah.
Selain kontraktor, Dinas PUPR Maluku Utara juga mendapat kritikan. Proyek pemerintah seharusnya diawasi secara ketat, namun fakta di lapangan menunjukkan lemahnya kontrol. Bila terbukti mengetahui aktivitas ilegal tersebut dan tetap membiarkan, pejabat PUPR dapat dianggap turut serta dalam tindak pidana penambangan tanpa izin.
Oleh karena itu, Kejaksaan Tinggi Maluku Utara diminta segera turun tangan melakukan penyelidikan. Jika ditemukan adanya kerugian negara akibat penggunaan material non-standar dan tidak legal, warga mendesak agar PPK, kontraktor, hingga Kepala Dinas PUPR diproses hukum sesuai regulasi.
Diketahui, lokasi proyek bronjong tersebut sebelumnya mengalami longsor di beberapa titik hingga menyebabkan akses transportasi terganggu. Kondisi ini bahkan telah ditinjau langsung Wakil Gubernur Maluku Utara beberapa bulan lalu bersama sejumlah SKPD.
Di sisi lain, anggaran pemeliharaan rutin jalan ruas Payahe-Dehepodo juga menjadi sorotan. Kerusakan yang terus memburuk, genangan air yang membentuk kolam, dan rumput liar menjalar hingga ke badan jalan dinilai sebagai bukti minimnya pemeliharaan oleh dinas terkait.
Asrul, warga Desa Maidi, mempertanyakan transparansi pengelolaan anggaran pemeliharaan jalan tersebut. Ia menduga adanya praktik korupsi dalam pekerjaan yang hasilnya tidak sesuai spesifikasi. Asrul juga meminta Kejati mengusut alokasi anggaran pemeliharaan tahun 2024-2025 serta sejumlah proyek lain di ruas Payahe-Dehepodo.
Menurutnya, ketiadaan transparansi memperkuat dugaan terjadinya KKN dalam pengelolaan proyek infrastruktur. Ia mendesak aparat penegak hukum bertindak cepat agar praktik serupa tidak terus merugikan masyarakat.
Perlu diketahui, pada tahun 2026 Dinas PUPR Maluku Utara menganggarkan lebih dari Rp14 miliar untuk pembangunan jembatan di ruas Payahe-Dehepodo. Paket itu mencakup Jembatan Yef senilai Rp3,59 miliar, Jembatan Sigela I sebesar Rp4,42 miliar, Jembatan Sigela II Rp3,03 miliar, serta lanjutan Jembatan Kali Lomaito bernilai Rp4,10 miliar.
Upaya Media untuk meminta Klarifikasi Kepala Dinas PUPR Provinsi Maluku utara namun hingga kini belum membuahkan hasil.
—TIM/RED—




