PSMP : Hukum Pilih Kasih, PT Karya Wijaya Dibiarkan Bebas Rusak Lingkungan

25

TERNATE, Corongpublik// Fungsi pengawasan terhadap aktivitas pertambangan di Maluku Utara kembali dipertanyakan. Ketua Pemuda Solidaritas Merah Putih (PSMP) Malut, Mudasir Ishak, menilai sejumlah instansi fungsional seperti Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (Bapedal), Inspektur Tambang, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) gagal menjalankan tugasnya dan terkesan mandul dalam mengawasi aktivitas tambang yang semakin merusak lingkungan.

Dalam keterangannya kepada wartawan di salah satu kafe di Ternate, Sabtu (18/10/2025), Mudasir mengungkapkan lemahnya pengawasan tersebut berpotensi menimbulkan dampak serius bagi masyarakat sekitar tambang.

“Kerusakan lingkungan, pencemaran laut, hingga hilangnya mata pencaharian warga pesisir adalah akibat dari pengawasan yang lemah. Pengawasan ketat dan berkelanjutan mutlak diperlukan agar kegiatan tambang berjalan bertanggung jawab,” tegasnya.

Ia menilai, seharusnya Bapedal, Inspektur Tambang, dan KKP menjadi garda terdepan dalam melindungi lingkungan Maluku Utara. Namun kenyataannya, kata Mudasir, laut hingga hutan kini kembali rusak akibat aktivitas tambang tanpa izin lengkap.

“Aneh juga, instansi pengawasan begitu banyak, tapi semua terkesan ompong dan bernaung di bawah ketiak korporasi,”sindirnya tajam.

Mudasir yang akrab disapa Dace menyoroti aktivitas pertambangan di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, yang menurutnya telah menimbulkan kerusakan lingkungan serius. Ia menuding KKP melalui Direktorat Jenderal PSDKP dan Satgas Penertiban Kawasan Hutan bersikap acuh terhadap penderitaan masyarakat di sekitar tambang.

PSMP Malut mengapresiasi langkah KKP yang beberapa waktu lalu menghentikan empat perusahaan tambang karena belum tertib izin, yakni PT Alngit Raya, PT Adita Nikel Indonesia, PT Makmur Jaya Lestari, dan PT Jaya Abadi Semesta. Namun, ia mempertanyakan mengapa perusahaan lain seperti PT Karya Wijaya, PT Smart Marsindo, dan PT Anugerah Sukses Mining (ASM) justru masih bebas beroperasi meski diduga melakukan banyak pelanggaran.

“Penegakan hukum di sektor tambang masih tebang pilih. Misalnya, Polda Maluku Utara sedang menyelidiki dugaan pembangunan jetty ilegal PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur, tetapi aktivitas serupa oleh PT Karya Wijaya di Pulau Gebe dibiarkan. Ini tidak adil,” ujarnya menyesalkan.

Ia mendesak Polda Maluku Utara untuk juga menyelidiki pembangunan jetty milik PT Karya Wijaya yang diduga tidak memiliki izin reklamasi maupun Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). “Jika dugaan ini benar, maka itu pelanggaran pidana. Hukum tidak boleh pilih kasih,”tegasnya lagi.

Mudasir menambahkan, dugaan pelanggaran PT Karya Wijaya memiliki dasar kuat. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI tertanggal 24 Mei 2024, perusahaan tersebut belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH), belum menempatkan jaminan reklamasi pascatambang, dan belum mengantongi izin jetty. Fakta ini menunjukkan lemahnya koordinasi dan pengawasan lintas instansi.

Diketahui, izin operasi PT Karya Wijaya diterbitkan sejak masa almarhum Gubernur Abdul Gani Kasuba melalui SK Nomor 502/34/DPMPTSP/XII/2020 dengan luas areal 500 hektare. Pada Januari 2025, izin itu diperbarui di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Namun, perusahaan yang disebut-sebut milik Gubernur Maluku Utara Sherly Djoanda itu kini terseret sengketa wilayah izin pertambangan (WIUP) dengan PT FBLN karena diduga menambang di konsesi perusahaan lain.

Pantauan lapangan Corongpublik menunjukkan kondisi lingkungan di Pulau Gebe semakin memprihatinkan. Air laut di sekitar Desa Elfanun dan Desa Kapaleo tampak kecoklatan akibat lumpur tambang yang mengalir langsung ke laut. Hal ini diduga karena tidak adanya kolam pengendapan (sediment pond) di lokasi tambang milik PT Karya Wijaya, PT Mineral Trobos, dan PT Smart Marsindo.

Setiap kali hujan deras, air bercampur lumpur dari lokasi tambang mengalir tanpa penyaringan, mencemari perairan dan mengancam biota laut. Warga khawatir jika kondisi ini terus dibiarkan, ekosistem pesisir Pulau Gebe akan rusak permanen padahal wilayah ini merupakan sumber utama penghidupan nelayan.

Selain merusak lingkungan, aktivitas PT Karya Wijaya juga diduga melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU ini menegaskan larangan eksploitasi di kawasan pulau kecil, sebagaimana diperkuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menekankan pentingnya perlindungan pulau kecil dari kerusakan permanen demi keberlanjutan sumber daya alam. (Tim/Red)