TERNATE, Corongpublik// Puluhan warga Kelurahan Ngade, Kota Ternate, kini terancam kehilangan hak atas tanah yang sudah mereka beli setelah Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Ternate menghentikan aktivitas perataan lahan dengan alasan kawasan tersebut masuk dalam Hutan Lindung dan melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Keputusan yang diambil pada Rabu (12/11/2025) itu langsung memicu kemarahan dan kebingungan warga.
Sedikitnya 69 unit kapling rumah di RT 007/RW 005 kini terhenti pembangunannya. Padahal, menurut warga, lahan seluas sekitar 3 hektare (30.000 meter persegi) tersebut bukan hutan lindung, melainkan kebun warisan keluarga Nurjanah Nesi (keturunan Nesi Sabiyan dan Samsia Djamal) yang telah dikelola sejak tahun 1985.
“Di situ bukan hutan lindung, tapi kebun yang sudah dirawat puluhan tahun. Ada lebih dari 300 pohon cengkeh, pala, kelapa, sampai mangga,” ujar seorang warga yang menolak disebutkan namanya. Kondisi vegetasi yang sudah produktif itu, menurut warga, menjadi bukti kuat bahwa lahan tersebut merupakan kebun rakyat, bukan kawasan hutan sebagaimana diklaim PUPR.
Fakta lapangan semakin mempertegas kontradiksi, sebab di sisi selatan lokasi yang dipersoalkan justru berdiri rumah permanen milik seorang dosen Universitas Khairun Ternate, yang memiliki hak kepemilikan resmi di wilayah yang sama. Situasi ini memunculkan dugaan standar ganda dalam penerapan kebijakan ruang oleh pemerintah kota.
Sementara itu, warga yang sudah membeli kaplingan pun merasa dirugikan. Salah satunya Ris (37), pembeli lahan yang menuntut penjelasan dari pemerintah.
“Kami sudah beli lahan secara sah. Kenapa sekarang kami dilarang membangun? Semua warga tahu itu kebun keluarga Nurjanah Nesi. Kalau mereka mau buat sertifikat atau tidak, itu hak mereka karena mereka sudah memanfaatkan lahan itu sejak lama,” tegas Ris.
Ia menyebut, banyak dari pembeli adalah keluarga muda yang menggantungkan harapan untuk memiliki rumah sendiri dari kaplingan murah di kawasan tersebut.
“Kami mohon empati dari Pemkot Ternate. Jangan matikan harapan kami yang sudah bertahun-tahun belum punya rumah,” katanya dengan nada kecewa.
Ris juga menyoroti inkonsistensi kebijakan pemerintah. Di kawasan lain, tepatnya di RT 18 yang berada di bawah tebing curam, puluhan rumah warga tetap dibangun tanpa ada teguran atau larangan, padahal wilayah itu dinilai jauh lebih rawan secara struktur tanah.
Masyarakat kini mendesak Pemkot Ternate, khususnya Dinas PUPR dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), untuk segera meninjau ulang keputusan pelarangan tersebut. Mereka meminta transparansi dan verifikasi lapangan agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat klaim sepihak yang menyalahi fakta historis dan sosial.
“Kalau benar ini hutan lindung, tunjukkan peta dan dasar hukumnya. Tapi kalau ini kebun rakyat yang sudah produktif sejak puluhan tahun, maka hentikan intimidasi terhadap warga,” pungkas seorang tokoh masyarakat Ngade.
—Tim/Red—




