Refleksi 26 Tahun Maluku Utara : Dari Jazirah Al-Mulk ke Jazirah Ketimpangan

28

OLEH : RISKI S JAUHAR

Wakabid Bidang PAO PP-Formapas Malut

 

Dua puluh enam tahun sudah Maluku Utara berdiri sebagai provinsi mandiri. Dalam rentang waktu itu, berbagai capaian pembangunan telah dipamerkan, grafik pertumbuhan ekonomi yang stabil, investasi triliunan rupiah di sektor tambang, serta deretan proyek infrastruktur di berbagai wilayah. Secara formal, indikator-indikator pembangunan tampak menggembirakan. Namun di balik semua data itu, masih banyak masyarakat yang belum merasakan denyut kesejahteraan secara nyata di kehidupan sehari-hari.

Provinsi yang dahulu dikenal dengan julukan Jazirah Al-Mulk Tanah Para Raja kini seperti kehilangan arah dalam perjalanan pembangunannya. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah belum sepenuhnya menjadi anugerah, bahkan kerap berubah menjadi sumber ketimpangan. Di Halmahera, deretan tambang nikel berdiri megah, tetapi jalan-jalan desa di sekitarnya tetap rusak dan berlumpur. Sementara di Ternate dan Tidore, wajah kota memang semakin modern, namun jurang sosial-ekonomi dengan pulau-pulau lain di sekitarnya semakin menganga.

Pemerintah daerah sering berbangga diri dengan capaian investasi besar yang masuk ke Maluku Utara. Namun, di sisi lain, keuntungan dari investasi itu justru lebih banyak mengalir ke luar daerah. Warga lokal umumnya hanya berperan sebagai buruh kontrak, menerima upah rendah, dan menghadapi ancaman lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif yang kian meluas. Ketika sumber daya dieksploitasi tanpa arah keberlanjutan, masyarakat setempat justru menjadi pihak yang paling menderita.

Apabila pola pembangunan seperti ini terus dibiarkan, maka pembangunan kehilangan makna sejatinya. Pembangunan seharusnya menjadi jalan bersama menuju kemajuan kolektif, bukan sekadar arena perebutan keuntungan oleh segelintir pihak. Pembangunan tanpa pemerataan ibarat rumah megah yang berdiri di atas pondasi rapuh-indah di luar, tetapi mudah runtuh dari dalam.

Kini, Maluku Utara harus berani keluar dari jebakan pembangunan yang hanya terfokus pada angka-angka pertumbuhan ekonomi. Ukuran keberhasilan sejati bukan pada berapa banyak pabrik berdiri atau jalan dibangun, melainkan pada sejauh mana masyarakat kecil dapat hidup layak dari tanah dan laut mereka sendiri. Pembangunan harus kembali berpihak pada manusia, bukan hanya pada modal.

Kekayaan alam Maluku Utara baru akan bermakna jika mampu meningkatkan taraf hidup petani di pedalaman, nelayan di pesisir, dan masyarakat adat di pulau-pulau kecil. Mereka adalah tulang punggung ekonomi lokal yang selama ini kerap diabaikan dalam kebijakan pembangunan. Tanpa keberpihakan kepada kelompok ini, kesejahteraan hanya menjadi slogan kosong.

Padahal, Maluku Utara menyimpan potensi luar biasa di luar sektor pertambangan. Sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata memiliki peluang besar untuk tumbuh secara berkelanjutan. Ketiga sektor ini dapat menjadi pilar ekonomi yang ramah lingkungan sekaligus memperkuat kemandirian masyarakat lokal. Sayangnya, potensi tersebut belum menjadi prioritas utama dalam perencanaan pembangunan daerah.

Kecenderungan pemerintah mengejar investasi besar-besaran sering kali mengabaikan ekonomi kerakyatan. Akibatnya, kesenjangan sosial melebar, rasa memiliki terhadap tanah dan laut berkurang, bahkan muncul alienasi di tengah masyarakat sendiri. Pembangunan yang timpang seperti ini hanya menghasilkan kemewahan semu-megah dari luar, namun rapuh di dalam.

Memasuki usia ke-26 tahun, Maluku Utara perlu melakukan refleksi mendalam. Provinsi ini harus menentukan arah baru yang menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan. Pemerintah daerah dan para pemimpin politik dituntut untuk berhenti beretorika tentang “pertumbuhan” dan mulai bekerja menegakkan keadilan sosial sebagai fondasi utama pembangunan berkelanjutan.

Masyarakat tidak hidup dari angka statistik, tetapi dari tanah yang mereka garap, laut yang mereka jaga, dan ruang hidup yang mereka rawat turun-temurun. Refleksi 26 tahun Maluku Utara seharusnya menjadi momentum untuk menata ulang visi pembangunan, dari jazirah ketimpangan menuju Jazirah Keadilan, di mana kekayaan alam menjadi berkah bersama, bukan kutukan yang memisahkan rakyat dari tanah kelahirannya.