SOFIFI, Corongpublik// Gelombang kritik terhadap kepemimpinan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, semakin menguat. Publik menilai janji reformasi birokrasi yang pernah digembar-gemborkan kini hanya menjadi slogan kosong tanpa langkah konkret. Setahun sejak dilantik pada 20 Februari lalu, Sherly dianggap gagal keluar dari bayang-bayang status quo yang selama ini membelit birokrasi Pemprov Malut.
Kalangan ASN hingga akademisi menyoroti mandeknya upaya pembenahan struktur pemerintahan. Para pejabat lama yang dinilai bermasalah tetap dipertahankan dan hanya dipindahkan dari satu jabatan strategis ke posisi lainnya tanpa evaluasi transparan. Praktik ini menimbulkan kesan bahwa gubernur tidak memiliki keberanian politik untuk melakukan perombakan.
“Tidak ada niat serius memperbaiki birokrasi. Orang-orang lama justru ditempatkan di posisi lebih nyaman. Ini bukan reformasi, tapi pelestarian jaringan kekuasaan, ujar salah satu ASN Pemprov Malut, Senin (17/11/25).
Di internal pemerintahan, Gubernur dinilai kurang menunjukkan kendali atas organisasi. Minimnya arahan langsung membuat banyak kebijakan berjalan tanpa landasan kuat, sehingga kelompok tertentu di sekeliling gubernur disebut leluasa mengamankan posisi mereka.
Selain itu, program Manajemen Talenta yang disebut sebagai pintu meritokrasi dinilai hanya kamuflase. Proses seleksi berlangsung tertutup dan diduga mengunci peluang ASN lain yang memenuhi syarat.
“Tidak pernah ada pengumuman terbuka. Yang lolos selalu orang-orang lama. Ini bukan seleksi, ini pengukuhan,” tegas salah satu ASN.
Di tengah stagnasi birokrasi, kritikan juga datang dari Pakar Hukum, Hendra Karianga, yang juga sebagai akademisi Unkhair Ternate. Ia menilai Gubernur Sherly gagal memahami prinsip meritokrasi dan hanya menjadikannya retorika.
“Meritokrasi menempatkan pejabat berdasarkan kapasitas, bukan kedekatan emosional atau hubungan kerabat,” ujarnya.
Hendra juga menegaskan pejabat yang pernah tersandung kasus korupsi tidak layak dipromosikan kembali. Ia mengingatkan Sherly pada janji kampanye untuk membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Lebih jauh, Hendra menyinggung rangkap jabatan yang diduga masih melekat pada Gubernur Sherly, baik di pemerintahan maupun sektor usaha pertambangan.
“Gubernur harus memilih salah satu. Kalau tidak, sebaiknya mundur. Masyarakat jangan lagi dibodohi dengan janji kampanye,” tegasnya.
Kekecewaan publik terhadap stagnasi pemerintahan Sherly kini semakin kuat. Banyak yang menilai pejabat terlalu lama mempertahankan jabatan, sehingga wawasannya tumpul dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. Kondisi ini dinilai menghambat regenerasi birokrasi.
Di tengah tekanan ini, publik menunggu apakah Sherly Tjoanda akan berani mengambil langkah tegas, merombak struktur pemerintahan, memutus dominasi pejabat lama, dan membuka ruang kompetisi bagi seluruh ASN secara adil. Tanpa langkah besar tersebut, reformasi birokrasi hanya akan menjadi jargon politik tanpa realisasi nyata.
—Tim/Red—




